Senin, 04 Maret 2013

Al Habib Umar bin Muhammad bin Salim bin Hafidz ibni Syekh Abu Bakar bin Salim


Nasab Habib Umar bin Hafidz
Habib 'Umar bin Muhammad bin Salim bin Hafidz bin Abdullah bin Abu Bakar bin 'Aydrus bin 'Umar bin 'Aydrus bin 'Umar bin Abu Bakar bin 'Aydrus bin Husein bin As-Syekh Al Kabir Al-Qutb As-Syahir Abu Bakar bin Salim bin Abdullah bin Abdurrahman bin Abdullah bin Sayyidina Syekh Al-Imam Al-Qutb Abdurrahman As-segaf bin Syekh Muhammad Maula Ad-Dawilayh bin Syekh Ali Shohibud Dark bin Sayyidina Al-Imam Alwi Al-Ghuyur bin Sayyidina Al-Imam Al-Faqih Al-Muqaddam muhammad bin Sayyidina Ali bin Sayyidina Al-Imam Muhammad Shohib Marbat bin Sayyidina Al-Imam Kholi Qosam bin Sayyidina Alwi bin Sayyidina Al-Imam Muhammad Shohib As-Shouma’ah bin Sayyidina Al-Imam Alwi Shohib Saml bin Sayyidina Al-Imam Ubaidillah Shohibul Aradh bin Sayyidina Al-Imam Muhajir Ahmad bin Sayyidina Al-Imam Isa Ar-Rumi bin Sayyidina Al- Imam Muhammad An-Naqib bin Sayyidina Al-Imam Ali Al-Uraydhi bin Sayyidina Al-Imam Ja’far As-Shodiq bin Sayyidina Al-Imam Muhammad Al-Baqir bin Sayyidina Al-Imam Ali Zainal Abidin bin Sayyidina Al-Imam As-Syahid Syababul Jannah Sayyidina Al-Husein. Rodiyallahu ‘Anhum Ajma’in.

Beliau dilahirkan sebelum fajar hari senin, 4 Muharram 1383 H / 27 Mei 1963M di Kota Tarim. Di kota yang penuh berkah inilah beliau tumbuh dan menerima didikan agama serta menghafal kitab suci al-Quran dalam keluarga yang terkenal iman, ilmu dan akhlak yang luhur. Guru pertamanya sudah tentu ayahanda beliau yaitu Habib Muhammad bin Salim yang juga merupakan Mufti Kota Tarim al-Ghanna itu. Selain ayahandanya, beliau juga menuntut ilmu dengan banyak ulama antaranya dengan al-Habib al-Munshib Ahmad bin 'Ali bin asy-Syaikh Abu Bakar, al-Habib 'Abdullah bin Syaikh al-'Aydrus, al-Muarrikh al-Bahhaatsah al-Habib 'Abdullah bin Hasan BalFaqih, al-Muarrikh al-Lughawi al-Habib 'Umar bin 'Alwi al-Kaaf, asy-Syaikh al-Mufti Fadhal bin 'Abdur Rahman BaFadhal, asy-Syaikh Tawfiq Aman dan kepada saudara kandungnya al-Habib 'Ali al-Masyhur bin Muhammad bin Salim. Selain kepada para ulama Tarim, beliau juga menuntut ilmu dan ijazah kepada banyak lagi ulama di luar kota tersebut seperti di Kota Syihr, al-Baidha` dan juga al-Haramain. diantaranya beliau menuntut ilmu dan menerima ijazah kepada al-Habib Muhammad bin 'Abdullah al-Hadhar, al-Habib Zain bin Ibrahim Bin Sumaith, al-Habib al-Musnid Ibrahim bin 'Umar bin 'Aqil, al-Habib 'Abdul Qadir bin Ahmad as-Saqqaf, al-Habib Ahmad Masyhur bin Taha al-Haddad, al-Habib Abu Bakar al-Aththas bin 'Abdullah al-Habsyi dan asy-Syaikh al-Musnid Muhammad Isa al-Fadani. Sekembalinya ke Kota Tarim, beliau mengasaskan Rubath Darul Musthofa pada tahun 1414H / 1994M dengan tiga matlamat: (1) mengajar ilmu agama secara bertalaqqi dan menerimanya daripada ahlinya yang bersanad; (2) mentazkiah diri dan memperbaikkan akhlak; dan (3) menyebarkan ilmu yang bermanfaat serta berdakwah menyeru kepada Allah s.w.t. Selain terkenal sebagai ulama dan da`ie, beliau juga merupakan seorang penyair yang mahir.
Habib Umar bin Hafidz adalah Ulama terkemuka di Hadramaut, Yaman. Madrasahnya Darul Mustafa, telah menghasilkan ribuan kader Mubaligh yang berdakwah di segenap penjuru dunia,.sebagai Ulama dan Mubaligh, tutur katanya lembut dan pengetahuan agamanya luas. Namun sorot matanya tajam dan raut mukanya selalu tampak bercahaya. Dan ketika berceramah, beliau bisa berubah menjadi “singa podium” yang berapi-api. Kalimat demi kalimat meluncur dengan suara lantang dan selalu bernas. Meski begitu, beliau tidak pernah menyinggung golongan atau pihak lain, apalagi menyakiti dengan kata-kata. Beliau selalu menekankan pentingnya kebersihan hati, pengamalan ilmu dan berdakwah di jalan Allah swt. Menurut salah seorang muridnya, Habib Jindan bin Novel bin Salim bin Jindan, Habib Umar tidak pernah stress dan marah kepada murid-muridnya.
Teristimewa, Habib Umar tidak mau menunjukkan karomahnya di hadapan banyak orang. Menurutnya, karomah yang paling penting adalah bukan bisa terbang di udara; misalnya. Kalau manusia bisa terbang, apa bedanya dengan burung. Tapi karomah yang paling besar adalah Istiqamah, seperti yang dicontohkan Nabi Muhammad SAW.
Habib Umar lahir di Tarim, Hadramaut, pada hari senin bulan Muharram, 43 tahun yang lalu, dari pasangan Zahra binti Ahmad dan Muhammad bin Hafidz. Sejak berumur sembilan tahun, beliau sudah yatim karena ditinggal ayahnya. Ketika Ayahnya diculik oleh gerombolan komunis dan tidak diketahui jenazahnya. Bakat dan kecerdasan Habib Umar dalam ilmu agama sudah tampak sejak kecil. Beliau pun tumbuh sebagai pemuda yang gemar berburu kepada Ulama terkenal, seperti :

• Syekh Muhammad bin Ali bin Syam
• Habib Muhammad bin Abu Bakar Al Haddar
• Habib Abdul Qadir bin Ahmad Assegaf.

Setelah banyak menimba ilmu, beliau kembali ke Tarim dan mendirikan pesantren Darul Mustafa, yang murid-murid pertamanya sebagian besar dari Indonesia.
Disamping sebagai Da’i, Habib Umar juga penulis yang produktif. Karya-karyanya tidak sebatas ilmu Fiqih, beliau juga mengarang beberapa kitab tasawuf dan maulid. Kitab yang ditulis antara lain :

• Diyaul Lami ( Maulid Nabi Muhammad SAW )
• Dhakhira Musyarofah ( Fiqih )
• Muhtar Ahadits ( Hadits )
• Nurul Iman ( akidah )
• Durul Asas ( Nahwu )
• Khulasah Madani an-Nabawi ( zikir )
• Tsaghafatul Khatib ( pedoman Khutbah )


Wasiat dan Nasihat Habib Umar bin Hafidz
> Penuhilah hatimu dengan kecintaan terhadap saudaramu niscaya akan menyempurnakan kekuranganmu dan mengangkat derajatmu di sisi Allah
> Barang siapa Semakin mengenal kepada Allah niscaya akan semakin takut.
> Barang siapa yang tidak mau duduk dengan orang beruntung, bagaimana mungkin ia akan beruntung dan barang siapa yang duduk dengan orang beruntung bagaimana mungkin ia tidak akan beruntung.
> Barang siapa menjadikan kematiaannya sebagai pertemuan dengan sang kekasih (Allah), maka kematian adalah hari raya baginya.
> Barang siapa percaya pada Risalah (terutusnya Rasulullah), maka ia akan mengabdi padanya. Dan barang siapa percaya pada risalah, maka ia akan menanggung (sabar) karenanya. Dan barang siapa yang membenarkan risalah, maka ia akan mengorbankan jiwa dan hartanya untuknya.
> Kedekatan seseorang dengan para nabi di hari kiamat menurut kadar perhatiannya terhadap dakwah ini.
> Betapa anehnya bumi, semuanya adalah pelajaran. Kukira tidak ada sejengkal tanah di muka bumi kecuali di situ ada ibrah (pelajaran) bagi orang yang berakal apabila mau mempelajarinya.
> Sebaik-baik nafsu adalah yang dilawan dan seburuk-buruk nafsu adalah yang diikuti.
> Tanpa menahan hawa nafsu maka manusia tidak akan sampai pada Tuhannya sama sekali dan kedekatan manusia terhadap Allah menurut kadar pembersihan jiwanya.
> Jikalau sebuah hati telah terbuka, maka akan mendapatkan apa yang diinginkan.
> Barang siapa yang mempunyai samudra ilmu kemudian kejatuhan setetes hawa nafsu, maka hawa nafsu itu akan merusak samudra tersebut.
> Sesaat dari saat-saat khidmat (pengabdian), lebih baik daripada melihat arsy dan seisinya seribu kali.
> Menyatunya seorang murid dengan gurunya merupakan permulaan di dalam menyatunya dengan Rasulullah SAW. Sedangkan menyatunya dengan Rasulullah SAW merupakan permulaan untuk fana pada Allah (lupa selain Allah)
> Manusia di setiap waktu senantiasa terdiri dari dua golongan, golongan yang diwajahnya terdapat tanda-tanda dari bekas sujud dan golongan yang di wajahnya terdapat tanda-tanda dari bekas keingkaran.
> Barang siapa yang menuntut keluhuran, maka tidak akan peduli terhadap pengorbanan.
> Sesungguhnya di dalam sujud terdapat hakikat yang apabila cahanya turun pada hati seorang hamba, maka hati tersebut akan sujud selama-lamanya dan tidak akan mengangkat dari sujudnya.
> Beliau RA berkata tentang dakwah, Yang wajib bagi kita yaitu harus menjadi da�fI dan tidak harus menjadi qodli atau mufti (katakanlah wahai Muhammad SAW inilah jalanku, aku mengajak kepada Allah dengan hujjah yang jelas aku dan pengikutku) apakah kita ikut padanya (Rasulullah) atau tidak ikut padanya? Arti dakwah adalah memindahkan manusia dari kejelekan menuju kebaikan, dari kelalaian menuju ingat kepada Allah, dan dari keberpalingan kembali menuju kepada Allah, dan dari sifat yang buruk menuju sifat yang baik.
> Syetan itu mencari sahabat-sahabatnya dan Allah menjaga kekasih-kekasih-Nya.
> Apabila ibadah agung bagi seseorang maka ringanlah adat (kebiasaan) baginya dan apabila semakin agung nilai ibadah dalam hati seseorang maka akan keluarlah keagungan adat darinya.
> Bila benar keluarnya seseorang (di dalam berdakwah), maka ia akan naik ke derajat yang tinggi.
> Keluarkanlah rasa takut pada makhluk dari hatimu maka engkau akan tenang dengan rasa takut pada kholiq (pencipta) dan keluarkanlah berharap pada makhluk dari hatimu maka engkau akan merasakan kenikmatan dengan berharap pada Sang Kholiq.
> Banyak bergurau dan bercanda merupakan pertanda sepinya hati dari mengagungkan Allah dan tanda dari lemahnya iman.
> Hakikat tauhid adalah membaca Al Qur'an dengan merenungi artinya dan bangun malam.
> Tidak akan naik pada derajat yang tinggi kecuali dengan himmah (cita-cita yang kuat).
> Barang siapa memperhatikan waktu, maka ia akan selamat dari murka Allah.
> Salah satu dari penyebab turunnya bencana dan musibah adalah sedikitnya orang yang menangis di tengah malam.
> Orang yang selalu mempunyai hubungan dengan Allah, Allah akan memenuhi hatinya dengan rahmat di setiap waktu.

Al Habib Munzir bin Fuad bin Abdurrahman Al Musawa


Berikut ini adalah biografi dari AL HABIB MUNZIR BIN FUAD AL-MUSAWA yang dijelaskan oleh beliau.

"Ayah saya bernama Fuad Abdurrahman Almusawa, yang lahir di Palembang, Sumatera selatan, dibesarkan di Makkah Al mukarramah, dan kemudian mengambil gelar sarjana di Newyork University, di bidang Jurnalistik, yang kemudian kembali ke Indonesia dan berkecimpung di bidang jurnalis, sebagai wartawan luar negeri, di harian Berita Yudha, yang kemudian di harian Berita Buana, beliau menjadi wartawan luar negeri selama kurang lebih empat puluh tahun, pada tahun 1996 beliau wafat dan dimakamkan di Cipanas cianjur jawa barat."

Nama saya Munzir bin Fuad bin Abdurrahman Almusawa, saya dilahirkan di Cipanas Cianjur Jawa barat, pada hari jum'at 23 februari 1973, bertepatan 19 Muharram 1393 H, setelah saya menyelesaikan sekolah menengah atas, saya mulai mendalami Ilmu Syariah Islam di Ma'had Assaqafah Al Habib Abdurrahman Assegaf di Bukit Duri Jakarta Selatan, lalu mengambil kursus bhs.Arab di LPBA Assalafy Jakarta timur, lalu memperdalam lagi Ilmu Syari?ah Islamiyah di Ma'had Al Khairat, Bekasi Timur, kemudian saya meneruskan untuk lebih mendalami Syari'ah ke Ma'had Darul Musthafa, Tarim Hadhramaut Yaman, selama empat tahun, disana saya mendalami Ilmu Fiqh, Ilmu tafsir Al Qur'an, Ilmu hadits, Ilmu sejarah, Ilmu tauhid, Ilmu tasawuf, mahabbaturrasul saw, Ilmu dakwah, dan ilmu ilmu syariah lainnya.

Saya kembali ke Indonesia pada tahun 1998, dan mulai berdakwah, dengan mengunjungi rumah rumah, duduk dan bercengkerama dg mereka, memberi mereka jalan keluar dalam segala permasalahan, lalu atas permintaan mereka maka mulailah saya membuka majlis, jumlah hadirin sekitar enam orang, saya terus berdakwah dengan meyebarkan kelembutan Allah swt, yang membuat hati pendengar sejuk, saya tidak mencampuri urusan politik, dan selalu mengajarkan tujuan utama kita diciptakan adalah untuk beribadah kpd Allah swt, bukan berarti harus duduk berdzikir sehari penuh tanpa bekerja dll, tapi justru mewarnai semua gerak gerik kita dg kehidupan yang Nabawiy, kalau dia ahli politik, maka ia ahli politik yang Nabawiy, kalau konglomerat, maka dia konglomerat yang Nabawiy, pejabat yang Nabawiy, pedagang yang Nabawiy, petani yang Nabawiy, betapa indahnya keadaan ummat apabila seluruh lapisan masyarakat adalah terwarnai dengan kenabawian, sehingga antara golongan miskin, golongan kaya, partai politik, pejabat pemerintahan terjalin persatuan dalam kenabawiyan, inilah Dakwah Nabi Muhammad saw yang hakiki, masing masing dg kesibukannya tapi hati mereka bergabung dg satu kemuliaan, inilah tujuan Nabi saw diutus, untuk membawa rahmat bagi sekalian alam. Kini majlis taklim saya yang dulu hanya dihadiri enam orang, sudah berjumlah sekitar tiga ribu hadirin, saya sudah membuka puluhan majlis taklim di seputar Jakarta pusat, saya juga sudah membuka majlis di seputar pulau jawa, yaitu:

Jawa Barat :
Ujungkulon Banten, Cianjur, Bandung, Majalengka, Subang.
Jawa tengah :
Slawi Tegal, Purwokerto, Wonosobo, Jogjakarta, Solo, Sukoharjo, Jepara, Semarang,
Jawa timur :
Mojokerto, Malang, Sukorejo, Tretes, Pasuruan, Sidoarjo, Probolinggo.
Bali :
Denpasar, Klungkung, Negara, Karangasem.
NTB
Mataram Ampenan
Luar Negeri :
Singapura, Johor, Kualalumpur.

namun kini kesemua kunjungan keluar jakarta telah saya cukupkan setahun sekali dengan perintah Guru saya.
Dan saya pun telah menjadi Narasumber di beberapa stasion TV swasta, yaitu di Indosiar untuk acara Embun Pagi tayangan 27 menit, di ANTV untuk acara Mutiara Pagi tayangan 27menit, RCTI, TPI, Trans TV dan La TV.

saya membina puluhan majelis di jakarta, yg kesemuanya mendapat giliran jadwal kunjungan sebulan sekali, selain Majelis Induk di Masjid Almunawar Pancoran jakarta selatan yg diadakan setiap senin malam dan setiap malam jumat di kediaman saya, maka padatlah jadwal saya setiap malamnya sebulan penuh, namun tuntutan dari wilayah wilayah baru terus mendesak saya, maka saya terus berusaha memberi kesempatan kunjungan walaupun dg keterbatasan waktu.
Email pribadi saya : munziralmusawa@yahoo.com

Demikianlah sekilas dari Biografi saya, untuk memperjelas gerakan dakwah yang saya jalankan, semoga limpahan rahmat Allah swt bagi mereka yang berminat menerima seruan seruan Kelembutan Allah swt, Amin Allahumma Amin.


Silsilah/ nasab habib munzir :

Munzir bin Fuad bin Abdurrahman bin Ali bin Abdurrahman bin Ali bin Aqil bin Ahmad bin Abdurrahman bin Umar bin Abdurrahman bin Sulaiman bin Yaasin bin Ahmad Almusawa bin Muhammad Muqallaf bin Ahmad bin Abubakar Assakran bin Abdurrahman Assegaf bin Muhammad Mauladdawilah bin Ali bin Alwi Alghayur bin Muhammad Faqihil Muqaddam bin Ali bin Muhammad Shahib Marbath bin Ali Khali' Qasim bin Alwi bin Muhammad bin Alwi bin Ubaidillah bin Ahmad Almuhajir bin Isa Arrumiy bin Muhammad Annaqibm Ali Al Uraidhiy bin Jakfar Asshadiq bin Muhammad Albaqir bin ALi Zainal Abidin bin Husein Dari Fathimah Azahra Putri Rasul saw.


Khadim Majelis Rasulullah saw (Munzir Almusawa) 

Perjalanan Hidup Para Salaf Bani Alawi Keturunan Sayyidina Husein bin Ali Ra

 
( Judul sebuah ceramah yang disampaikan oleh Sayid Muhammad Ahmad Assyathiri di tengah sejumlah pemuda, di rumah Al Faqih Al Muqaddam, di kota Tarim, pada tahun 1367 H./1947 M.)

بسم الله الرحمن الرحيم
Dengan Nama Allah Yang Maha Pengasih Maha Penyayang.

Dengan nama Allah kami mohon pertolongan. Shalawat dan salam sejahtera atas junjungan kita Nabi Muhammad, keluarga dan para Sahabat.

Pokok pembahasan ceramah ini adalah perjalanan hidup para salaf pendahulu kita keturunan Alawiyin dan Sayidina Husein, serta siapa-siapa yang mengikuti jejak mereka. Semoga Allah mencurahkan rahmat atas semua.
Saya pilih bidang bahasan ini karena disamping mengandung banyak pengetahuan tentang sejarah kita - ia merupakan bidang perselisihan dalam pemahamannya. Berbagai macam visi telah timbul, disebabkan tidak adanya, di antara kita dewasa ini, orang-orang yang melakukan penyelidikan secara teliti dengan cara penulisan yang memuaskan, sampaipun mereka yang merasa dirinya sangat antusias terhadap sejarah perjalanan hidup para salaf tersebut.
Kendati demikian, kami tidak menyampaikan kecuali hal-hal yang benar-benar jelas dan terang laksana matahari di waktu siang, tersurat di dalam kitab-kitab Alawiyin, baik yang lama maupun yang baru sehingga dapat dimengerti secara jernih dan mudah dicerna.
Memang, kesalahpahaman dalam memahami perjalanan hidup salaf tidak ditimbulkan karena samar dan tidak jelasnya sejarah itu, melainkan karena keengganan kita dan tidak adanya usaha yang sungguh-sungguh dalam menjalankan kewajiban itu.
Barangkali kelak akan datang suatu saat, di mana menyatakan pendapat atau membahas, persoalan-persoalan semacam ini, atau fakta-fakta historis yang lain akan mempunyai arti yang sangat penting di mana orang sangat mendambakan untuk memperoleh, meskipun hanya sekilas cahaya dari padanya agar dapat menerangi mereka menuju jalan yang lurus.
• Siapa Salaf ?
Kata Salaf mempunyai beberapa penggunaan. Penggunaan secara umum, yaitu sebagai istilah yang dipakai oleh ahli-ahli ilmu agama sebagai sebutan khusus bagi mereka yang hidup pada abad-abad pertama, kedua, dan ketiga Hijrah, atau dengan kata lain sebagai sebutan bagi para sahahat Nabi, tabi’in dan tabi’it-tabi’in.
Namun ulama Hadramaut (dari golongan Alawiyin) menggunakan sebutan itu selain bagi mereka yang tersebut di atas juga bagi pendahulu-pendahulu mereka (kaum Alawiyin) yang saleh. Habib Abdullah Al-Haddad [1] membatasi penggunaan sebutan itu mulai dari Syekh Ali bin Abubakar As-Sakran [2] ke atas “Mereka,” kata Al-Haddad, “adalah orang-orang di mana kita tunduk sepenuhnya (dalam segala hal) yang mereka lakukan. Adapun yang datang kemudian, mereka ’laki-laki’ dan kita ‘laki-laki’ (yakni kita herhak mengikuti atau menolak sesuai dengan dalil).”
Kendati demikian, ucapan Al Haddad ini tidak menghalangi mereka yang datang sesudah Syekh Ali Abubakar As-Sakran , bahkan Al Haddad sendiri dan murid-muridnya, untuk digolongkan sebagai salaf. Sebab telah menjadi istilah ulama Hadramaut terdahulu - sampaipun mereka yang akhir-akhir ini masih bisa kita jumpai menggunakan kata salaf bagi pendahulu mereka yang saleh. di mana kemudian akan kami jelaskan tahap-tahapnya
• Permulaan Sejarah Perjalanan Hidup Alawiyin
Abad ketiga Hijrah merupakan abad kegoncangan dan kekacauan, khususnya di negeri Irak yang selalu terjadi pemberontakan dan huru-hara (fitnah). Kerajaan Bani Abbas tidak mampu lagi mengekang dan mengatasi pemberontakan dan huru-hara yang senantiasa timbul dan telah membuat seluruh dunia Islam bergolak laksana periuk yang sedang mendidih, sedang penguasa tak mampu menegakkan keamanan umum yang telah goyah selama bertahun-tahun.
Semua itu membuat banyak orang - terutama tokoh-tokoh yang menonjol - berhijrah meninggalkan kampung halamannya mencari kediaman yang aman.
Di antara orang yang hijrah dari Irak adalah Al-Iman Ahmad Al-Muhajir Ilallah [3] (berhijrah mencari ridha ALLAH) Sebab Al Muhajir- seperti tokoh-tokoh ahlul bait yang lainnya selalu merasa ketakutan dan senantiasa menjadi sasaran pembunuhan dan penganiyaan. Hal demikian makin terasa pada saat terjadi pemberontakan dan huru-hara, di mana musuh-musuh Alawiyin rnenggunakannya sebagai kesempatan untuk menganiaya dan membantai mereka. Hal ini terutarna akibat rasa khawatir bahwa di dalam suasana kacau itu, kaum Alawlyin akan menampilkan diri untuk memegang kendali kekuasaan di tengah umat Islam yang tetap berpendirian bahwa kewajiban mereka adalah menyerahkan tongkat kepemimpinan kepada Ahlulbait, keturunan Nabi pembawa agama ini serta bernaung di bawah panjinya, betapapun secara lahir mereka (umat Islam) tunduk kepada pemimpin yang lain. Atau demikianlah semestinya.
Namun banyak di antara tokoh Alawiyin berusaha menahan diri dan menghindar untuk tidak terjebak ke dalam huru-hara itu serta berupaya untuk tidak terlibat dalam pergolakan-pergolakan politik, disebabkan pelajaran-pelajaran praktis yang mereka terima dari berbagai pengalaman dalam bidang ini. Karena itu, bergerak di dalam lapangan politik - menurut pandangan mereka - akan selalu berakhir dengan kegagalan. Demikianlah pendirian segolongan Alawiyin. Namun ada segolongan lain berpendirian, bahwa Alawiyin harus berkorban dalam segalanya untuk menyelamatkan umat, yang harus terus menerus berjuang sehingga tujuan tercapai, atau mati bergelimang darah di tengah medan pertempuran.
Imam Al Muhajir termasuk golongan pertama, sedang saudaranya Muhammad bin Isa termasuk golongan kedua, dibuktikan dengan perlawanannya terhadap kekuasaan Abbasiyah. Dalam hal ini, Al Muhajir selalu memperingatkan dan memberi nasihat kepada saudaranya agar tidak melakukan perlawanan. Peringatan dan nasihat diberikan secara terus menerus, sehingga akhirnya merasa puas dan yakin akan kebenaran pendirian Al Muhajir, lalu menghentikan perlawanannya.
Jadi jelaslah, Al Muhajir memilih tinggal di Hadramaut (Yaman Selatan), negeri yang tandus gersang, hampir terputus hubungannya dengan dunia luar, hanyalah sekadar dapat hidup aman dan damai bersama keluarganya, serta dapat menunaikan kewajiban agama dan kegiatan duniawi dalam suasana tenteram dan aman, setelah menyaksikan segala pengalaman yang terjadi baik di negeri Irak maupun di daerah-daerah lain, berupa pemberontakan, huru-hara dan peristiwa-peristiwa lain. Semua itu menyebabkan hilangnya ketenangan dan menyusahkan hati.
Hendaknya kita tidak terburu untuk berprasangka bahwa Al Muhajir hanya bermaksud mengurung diri, serta beruzlah tanpa mempedulikan umat dan masyarakat di sekitarnya. Tidak. Al Muhajir bertujuan mendirikan suatu masyarakat baru, di negeri baru ini, sesuai cita-cita dan keyakinannya.
Oleh karena itu setibanya di negeri ini Al Muhajir tak henti hentinya berjuang melawan kaum Ibadhiah [4] yang merupakan mayoritas penduduk Hadramaut. Yaitu setelah gagal berdialog dengan mereka secara baik, sehingga terpaksa senjata harus berbicara. Al Muhajir dan pengikutnya yang berjumlah kecil itu, telah mendapat dukungan dari penduduk Jubail dari Wadi Dau’an yang bersimpati kepada Ahlulbait.
Cara hidup Al Muhajir (mencari kedamaian dan kebenaran ) diterima kemudian oleh anak cucunya dan benar-benar mempengaruhi jiwa mereka, yang akhirnya kehidupan mereka hampir sama di semua tahap-tahap sejarah, sebagai akan dituturkan kemudian.
• Tahap-Tahap Sejarah Alawiyin
Sesungguhnya sejarah perkembangan Alawiyin, mengalami pasang-naik dan pasang-surat, sesuai dengan kehidupan mereka yang selalu berubah. bagaimanapun juga, golongan Alawiyin selalu memelihara identitasnya, yaitu berpegang teguh dengan KITAB ALLAH (Al Qur’an) dan SUNNAH (ajaran-ajaran nabi Muhammad SAW dalam segala bidang kehidupan) luhur yang padu dan utuh secara Islam.
Adapun sejarah perkembangan Alawiyin — menurut pandangan kami dapat dibagi menjadi empat tahap, sebagai berikut :
Tahap —- Abad (Hijriah) —- Zaman
Pertama — Ke-3 s/d Ke-7 —- Ahmad Al-Muhajir s/d M. Al-Faqih Al-Muqaddam
Kedua —- Ke-7 s/d Ke-11 — M. Al-Faqih Al-Muqaddam s/d Abdullah Al-Haddad
Ketiga ------- Abad ke 11 s/d ke 13.
Keempat — Ke-14 s/d Kini
Tahap-tahap itu diikuti pula dengan perbedaan gelar dan sebutan bagi tokoh tokoh Alawinyin, maka sebutan atau gelar setiap tahap berbeda dengan gelar atau sebutan pada tahap yang lain. Sebagai berikut :
Tahap —————- Gelar
Pertama ————– Al-Imam
Kedua —————- As-Syech
Ketiga —————- Al-Habib
Keempat ————– As-Sayid
Sebutan demikian itulah yang digunakan orang bagi tokoh-tokoh Alawiyin pada masing-masing tahap.
Kendati demikian, saya tidak bermaksud mengatakan bahwa sebutan-sebutan dan gelar-gelar itu khusus bagi tokoh-tokoh Alawiyin. Hanya saja - seperti diketahui sebutan dan gelar-gelar itu lebih populer penggunaannya bagi mereka.
TAHAP PERTAMA
Tahap pertama sejarah perjalanan hidup Alawiyin ini memiliki keistimewaan sebagai tahap pembangunan kehidupan baru dan pembauran dengan masyarakat baru di negeri baru. Pada tahap ini, tokoh-tokoh Alawiyin telah berhasil mempengaruhi masyarakat Hadramaut serta menyesuaikan diri dengan kehidupan mereka. Tokoh-Tokoh Alawiyin dalam kehidupan sehari-hari benar-benar mirip dengan kehidupan tokoh-tokoh sahabat Nabi di kurun Islam pertama, baik dalam ilmu, akhlak maupun ibadah.
Ketika baru berada di tengah rnasyarakat Hadramaut. Al Muhajir dihadapkan dengan suasana jihad yang tak terelakkan. Al Muhajir ketika itu harus melawan golongan ibadhiah”, baik dengan lisan maupun dengan senjata, sehingga Al Muhajir berhasil menyebar luas ajaran” Ahlus sunnah seperti jelas di uraikan didalam kitab-kitab sejarah yang menerang riwayat hidup (Biografi) Al Muhajir. Kemudian, putra-putranya dan keturunannya meneruskan langkah itu, memimpin masyarakat hadramaut dalam bidang ilmu, budaya dan ekonomi. Bahkan dalam bidang politik yang bersifat mengawasi dan membimbing (para penguasa) demi tercapainya kepentingan umum, tanpa berambisi memegang tampuk kekuasaan secara praktis.
Tokoh-tokoh Alawiyin pada tahap ini, adalah Imam-Imam mujtahid (dalam arti tidak mengikuti atau terikat dengan salah satu mazhab) seperti diriwayatkan oleh beberapa ulama, yang masing-masing tokoh terkenal dengan gelar “Imam” seperti Imam Al Muhajir, Imam Alawi bin Ubaidillah dan lain-lain.
Namun, ijtihad mereka seringkali bersesuaian dengan Imam Assyafi’i dalam bagian terbesar madzhabnya Adapun aspek-aspek aqidah mereka, sama seperti para leluhur mereka sampai Imam Ali bin Abi Thalib r.a.
Tokoh-tokoh Alawiyin ini telah membawa sebagian kekayaan mereka dari negeri asal, yaitu Bashrah (Irak). Kekayaan itu amat besar jumlahnya sehingga mereka dapat membeli tanah-tanah, kebun-kebun, bangunan-bangunan, dan sebagainya di negeri ini. Kekayaan itu juga dikembangkan di dalam bidang pertanian yang menjadi usaha pokok dan sumber utama Alawiyin tahap itu.
Dalam keadaan demikian, mereka senantiasa teringat karnpung halaman dan sesekali timbul kerinduan ketika mengenang masa lampau di negeri Irak, sehingga mereka rnembuat lambang-lambang dengan narna taman-taman, kebun dan pesanggrahan yang telah ditinggalkannya itu.
Dalam tahap ini setiap Alawi menampilkan pribadi yang mulia dengan beberapa keistimewaan berupa ilmu. akhlak. ibadah dan. wibawa, sehingga keluarga ini dikenal dan dibedakan oleh masyarakat karena ciri-ciri kemuliaan itu.
• Ilmu Tokoh-Tokoh Alawiyin
Ilmu yang dikuasai tokoh-tokoh Alawiyin tahap ini meliputi: Tafsir Hadist, Fiqih, Sastra/ Bahasa, metode berdebat dan berdiskusi, serta ilmu pengetahuan lain, yang telah berkembang pesat dewasa itu termasuk tasawuf. Hanya saja ilmu tasawuf ini memperoleh perhatian lebih dalam dan lebih khusus pada tokoh-tokoh tahap kemudian. Tokoh-tokoh tahap ini memperhatikan tasawuf sebagai amalan praktis dan buhan sebagai teori ilmiah semata.
• Akhlak dan Budi Pekerti Alawiyin
Sifat yang paling menonjol bagi seorang Alawi tahap ini adalah: kedermawanan, dan keberanian (sebagai ciri umum keturunan bani Hasyim). Sifat ini diimbangi dengan tawadhu’ rendah hati), di samping tegas dan tidak kenal kompromi dalam mempertahankan kebenaran. memperhatikan bidang keperwiraan, menggunakan alat-alat perang dan menyandangnya dalam kesempatan-kesempatan tertentu.
Sifat terakhir ini kernudian berubah pada tokoh-tokoh Alawiyin generasi berikutnya, yang dalam menggunakan alat-alat perang dan menyandangnya dianggap menyalahi tradisi dan bertentangan dengan sopan santun hal ini berlaku sejak Alawiyyin mengikuti “Terakat Tasawwuf “ pada abad ketujuh ketika Imam Al Faqih Al Muqoddam menerima “Khirqah” (Baju Tasawwuf) dan Syekh Abu Madyan, tokoh sufi dari negeri magrib (Afrika utara) . Sejak itu Al Fagih Al Muqoddam menjauhi penggunaan senjata untuk menekuni ilmu dalam suasana damai.
• Hubungan Alawiyin dengan Dunia Luar
Adalah merupakan watak dan tabiat seorang Alawi, tidak pernah merasa tentram di satu daerah tertentu, untuk kemudian tinggal selama hidup. Hidup bebas dan pergi, kemana saja untuk mencari daerah-daerah baru merupakan watak dan cirinya. Satu daerah saja dipandang sempit dan tidak memberi kepuasan untuk mengembangkan cita-cita dan mencapai tujuannya.
Apalagi di negeri seperti Hadramaut, negeri ini akan memaksa penduduknya berhijrah karena sempitnya bidang ke hidupan. di samping terjadinya pergolakan dan pertumpahan darah antara kabilah-kabilah yang selalu berkecamuk. akibat tidak adanya pemerintahan yang kuat dan stabil.
OIeh karena itu, seorang Alawi - seperti halnya penduduk Hadramaut pada umumnya - mengadakan perjalanan ke negeri-negeri tetangga, seperti: Yaman, Hijaz, Syam dan. Irak, baik demi tujuan budaya, ekonomi, maupun agama.
Pada mulanya, Alawiyin seringkali hilir mudik mengunjungi Irak — negeri asal mereka – untuk bertemu kembali dengan sanak keluarga. memeriksa harta kekayaan yang ditinggalkan, bahkan hingga kini keturunan Imam Muhammad bin Isa Ar Rumi (saudara sekandung Al Muhajir) terus juga berkembang di negeri ini.
Sesuatu yang patut digarisbawahi di sini, ialah bahwa tokoh tokoh Alawiyin yang menonjol pada tahap perkembangan, ini terdiri dari keturunan Imam Ubaidillah bin Ahmad Al Muhajir bin Isa Ar Rumi, yakni Bashri, Jadid dan Alawi. Kendali pimpinan dipegang oleh keturunan kedua orang yang pertama, yaitu Bashri dan Jadid. Namun keturunan mereka kemudian terhenti dan tidak berkelanjutan, yang pada abad ketujuh H. tidak ada lagi seorang pun dari keturunan mereka. Sayang ahli-ahli sejarah tidak menghidangkan untuk kita jasa dan peran yang pernah dimainkan oleh keturunan Bashri dan Jadid, kecuali nama beberapa tokoh saja yang dicatat, yang di antaranya adalah Imam Ahli Hadits Imam Abu Hasan Ali bin Muhammad bin Jadid (wafat 620 H.) dan Imam Salim bin Bashri (wafat 604 H.)
Adapun tokoh-tokoh sesudah waktu tahap ini hanyalah dari turunan Alawi bin Ubaidillah bin Ahmad bin Isa Ar Rumi (dari Alawi inilan datang sebutan Alawiyin bagi keturunaannya). Meskipun demikian, silsilah keturunan Alawiyin seluruhnya selalu melalui lima rangkaian nasab saja, yang menunjukkan bahwa Alawiyin baru berkembang dan bercabang setelah abad ke enam H. Rangkaian silsilah ke lima orang itu adalah: Muhammad bin Ali bin Alawi bin Munammad bin Alawi ( bin Ubaidillah bin Ahmad Al-Muhajir).
Di antara putra-putri Muhammad bin Ali bin Alawi ( terkenal dengan gelar Shahib Mirbath, wafat 556 H.) yang berketurunan hanyalah dua orang putranya, yakni Imam Alawi, paman ( saudara ayah ) Al Faqih Al Muqaddam, dan Imam Ali bin Muhammad, ayah Al Faqih Al Muqaddam. Pada kedua orang inilah tercakup seluruh nasab Al-Alawiyin, seperti tercakupnya nasab seluruh Al-Husainiyin pada Imam Ali Zainal Abidin, kemudian pada putranya Muhammad Al Bagir.
Ubaidillah adalah putra Imam Al Muhajir Ahmad bin Isa Arrumi bin Muhammad Annaqib bin Ali Al-Uraidhi bin Ja’far Asshadiq bin Muharnmad Albaqir bin Ali Zainal Abidin bin Husein bin Ali bin Abi Thalib, suami Siti Fatimah Azzahra’ putri Rasul Allah saw.
TAHAP KEDUA ( a )
Tahap ini bermula-seperti telah kami terangkan pada awal ceramah - dari abad ketujuh H hingga menghampiri abad kesembilan H. Yakni dari masa Al Fagih Al Muqaddam hingga mendekati zaman Al-Habib Abdullah Al Haddad. Tokoh - tokoh tahap ini terkenal dengan gelar “Syekh”. Apabila kita hendak membuat suatu perbandingan antara tokoh-tokoh masa ini, yang di antara tokoh-tokohnya adalah para Imam seperti Al Faqih Mugaddam[5] , Assegaf[6] , Al Muhdhar[7] , Al-A’idarus[8] , Zain Al-A’bidin Al-A’idarus [9] dengannya tanpa di sini patut kita kemukakan secara obyektif, bahwa tokoh-tokoh tahap ini, dalam kenyataannya yang dibuktikan melalui karya dan hasil tulisan mereka, tidaklah mencapai hasil atau kualitas puncak, baik dalam penulisan karya-karya ilmiah maupun dalam syair. Bahkan tidak kita jumpai di antara karya mereka yang menunjukkan kejeniusan dan kehebatan dalam bidang-bidang ilmu dan kebudayaan yang dapat mengimbangi keunggulan mereka dalam bidang akhlak dan pengamalan agama.
Hal itu, tampaknya, disebabkan oleh pengaruh tasawuf yang mendalam, sehingga tokoh-tokoh tahap ini tidak begitu memperhatikan untuk berkarya, baik dalam lapangan budaya maupun karya-karya ilmiah (sebab tasawuf hanya memperhatikan segi-segi keruhanian tanpa memberikan perhatian yang cukup besar terhadap segi-segi lahiriah - penerj.). Kalaupun ada, hal itu tidak banyak di lakukan. Itu pun tanpa memperhatikan penggunaan bahasa yang indah, terpilih dan tersusun rapi dalam penampilan yang kuat. Dalam penulisan, tokoh-tokoh tahap ini sering menggunakan bahasa sehari-hari (atau dialek setempat) dalam mengungkapkan suatu hakikat, dan dengan cara apa adanya tanpa mempedulikan susunan atau gaya bahasa.
Adapun dalam bidang ekonomi, maka tahap ini telah mengalami peningkatan dibanding dengan tahap sebelumnya. Apabila tahap terdahulu kegiatannya terbatas pada bidang pertanian saja, dengan menginvestasikan kekayaan mereka hanya dalam bidang ini saja, maka Alawiyin pada tahap ini - di samping pertanian - telah juga berinvestasi di bidang perdagangan. Mereka mendirikan pusat-pusat perdagangan di pesisir Hadramaut, Aden dan Yaman. Mereka juga mengadakan perjalanan dagang ke India dan negara-negara lain, disertai dakwah menyiarkan agama Islam. Adapun perjalanan ke Timur (negara-negara Asia Tenggara), untuk kedua tujuan tersebut, maka hal itu baru mereka lakukan kemudian (yakni sekitar abad kesebelas H. - penerj.). Dengan cara demikian mereka perluas daerah perdagangan serta kegiatannya di dalam negeri dengan mengalirya arus barang dan uang, yang sebelumnya kegiatan mereka hanya terbatas pada bidang pertanian saja.
Perlu dikemukakan, meskipun tokoh-tokoh Alawiyin melakukan berbagai kegiatan ekonomi, namun berkat disiplin ketat, kekuatan iman dan takwa, mereka tetap tekun dalam menjalankan ibadah, membaca wirid-wirid khusus, dan berdakwah. Allah telah berkenan memberikan berkah waktu dengan membagi masing-masing kegiatan secara cermat, sehingga dapat melakukan semua kegiatan itu dengan sempurna, sesuai keseimbangan yang digariskan oleh syari’at.
Berbicara mengenai tingkat kesufian Alawiyin tahap ini, maka seperti telah dikemukakan pada awal ceramah. bahwa “Tarekat Tasawuf” baru dikenal di hadramaut pada awal abad ketujuh H. ketika Syekh Abu Madyan - tokoh ahli Sufi dari negeri magrib (Afrika utara) mengutus muridnya yang tepercaya ke negeri Hadramaut untuk menghubungi Alfagih Al Muqaddam secara khusus dan beberapa ulama yang lain di negeri ini. Dalam pada itu, Syekh Abu Madyan juga mengirim “khirqah” tasawuf, berupa sehelai baju yang dipakaikan oleh seorang guru (tasawuf) kepada muridnya, yang dengan demikian seorang guru berhak rnengarahkan pendidikan muridnya itu (secara tasawuf ).
Melalui seorang muridnya, sebagai perantara, Syekh Abu Madyan memakaikan “khirqah” itu kepada Al Faqih Al Muqaddam. Ketika Syekh Abu Marwan, guru Al Faqih Al Muqaddam mengetahui hal itu, ia menjadi marah, demikian juga dengan beberapa ulama Tarim yang tidak menyukai hal itu, sebab mereka khawatir akan kehilangan citacita dan rencana mereka untuk menokohkan Al Faqih Al Muqaddam sebagai pemimpin dan Imam. Ketika itu Alfagih Almugaddam belajar beberapa cabang ilmu dari Syekh Abu Marwan dengan acapkali menyandang senjata, bahkan kadang-kadang sambil belajar ia meletakkan pedang menyilang di atas pahanya.
Orang-orang yang kurang senang dengan tindakan Al Faqih Al Muqaddam itu, mengira apa yang kelak akan dilakukan oleh Al Faqih Al Muqaddam merupakan salah satu tarekat yang hanya semata mata memperhatikan segi-segi keruhanian tanpa menghiraukan urusan duniawi. Namun sesungguhnya Alfagih lebih bijaksana serta berpandangan jauh dan luas. Ia tidak menginginkan pengikutnya mengenakan gimbal bertambal (muragga’at), mengembara tanpa arah sebagai “darwisy” (orang ‘fakir’) yang melakukan cara-cara aneh dalam mendekatkan diri kepada Tuhan, atau menjalankan latihan-latihan ruhani (yang berlebihan). Al Faqih Al Muqaddam melarang pengikutnya bertaklid buta terhadap guru, khususnya dalam hal-hal yang ada kemungkinan bertentangan dengan Alkitab dan Sunnah.
Tarekat yang dianut oleh Alfagih Al Muqaddam dan pengikutnya adalah “Atthariqah Al-Alawiyah” yang dasarnya adalah mengikuti apa yang tersurat di dalam Alkitab (Alqur’an) dan Assunnah (ajaran Nabi), meneladani tokoh-tokoh Islam kurun pertama (para sahabat dan tabi’in). Itulah yang dinyatakan di dalam kitab-kitab mereka, ceramah dan nasihat agama, dan surat menyurat mereka antara yang satu dengan yang lain, serta dikuatkan pula oleh perilaku dan tindak tanduk Salaf Al alawiyin.
Hal ini diungkapkan oleh salah seorang tokoh Alawiyin yaitu Habib Abdullah Al Haddad dalam sebuah bait syair sebagai berikut :
Berpegang teguhlah engkau dengan Kitab Allah,ikutilah Sunnah nabi
Serta teladanilah para Salaf terdahulu Semoga Allah memberi engkau petunjuk-Nya
Demikian pula dinyatakan oleh Al Habib Ali bin Muhammad Al-Habsyi :
Demikian inilah amalan-amalan murni dari segala campuran
Ditambah ilmu dan keluhuran akhlak serta wirid-wirid yang cukup banyak
Dengan demikian jelaslah, golongan Alawiyin pengikut tarekat tasawuf, tetapi tasawuf mereka tidak menghalangi untuk melakukan tugas-tugas kehidupan, baik yang bersifat kemasyarakatan (sosial), keluarga maupun pribadi. Dalam segi tasawuf ini, Alawiyin menyerupai sahabat Nabi dan para tabi’in yang terkenal dengan kesufiannya namun tidak terhalang untuk berjihad menyebarluaskan ilmu dan dakwah.
Kaum Alawiyin adalah penganut madzhab tasawuf yang berintikan sikap zuhud. Namun zuhud tidak menghalangi mereka untuk mengumpulkan harta yang amat besar jumlahnya asal diperoleh melalui jalan yang wajar dan halal, yang kemudian disalurkan untuk kepentingan umum, menjamu tamu, mendirikan masjid dengan mencadangkan wakaf untuk pembiayaannya, menggali sumur untuk menyediakan air bersih yang sangat diperlukan, membuka dapur-dapur umur, dan mendirikan pondok pesantren untuk menyebarluaskan ilmu dan dakwah ke jalan Allah. Mengusahakan perdamaian dan memperbaiki hubungan antara golongan-golongan yang bersengketa, bersedekah dan membantu mereka yang memerlukan bantuan.
Kaum Alawiyin adalah orang-orang sufi penganut madzhab Syafi’i, namun mereka tidak bertaklid kepada Imam Syafi’i dalam segala hal. Dalam soal-soal tertentu, mereka meninggalkan pendapat Imam Syafi’i.
Kaum Alawiyin adalah penganut Al-Asy’ari (dalam soal-soal Tauhid), namun mereka juga meninggalkan faham Al-Asy’ari dalam beberapa hal, seperti mengenai sahnya taklid dalam soal iman.
Meskipun tokoh-tokoh Alawiyin sangat mengagumi karya-karya Al-Ghazali serta falsafahnya dalam bidang akhlak dan tasawuf, namun mereka tidak mengikutinya secara bertaklid buta, melainkan memperhatikan kekurangan dan kelemahan AlGhazaIi, sehingga ada diantara tokoh mereka yang mengatakan. “Di dalam kitab Ihya’ ada beberapa pernyataan seandainya dapat dihapus dengan air mata kami, kami akan melakukannya” [10].
TAHAP KEDUA ( b )
Kaum Alawiyin adalah orang-orang sufi, sebagian mereka menyukai nyanyi dan lagu yang sehat tanpa disertai tindakan yang melanggar akhlak, apalagi minum-minuman yang memabukan, seperti yang dilakukan oleh beberapa penganut tarekat lainnya.
Kaum Alawiyin adalah orang-orang sufi, namun mereka tidak berkhalwat atau melakukan latihan latihan rohani secara berlebihan dan melampaui batas. Kalaupun ada, sangatlah jarang, dan mereka melakukannya dengan cara yang tidak merusak, baik fisik maupun mental, serta bertujuan semata mata mendidik jiwa, menghilangkan sifat-sifat kelemahan dan kekotoran rohani, sebagai usaha untuk menyucikan diri dari kungkungan nafsu angkara murka dan syahwat.
Kaum Alawiyin adalah orang-orang sufi, namun tasawuf mereka tidak melarang tokoh-tokoh besar dan ulama mereka menduduki jabatan-jabatan penting: sebagai hakim, pemberi fatwa (Mufti), guru-guru besar, atau usahawan dalam bidang pertanian, perdagangan atau pertukangan, baik sebagai pimpinan maupun pelaksana lapangan.
Alfagih Al-Muqaddam - misalnya - bapak Alawiyin dalam tasawuf, mungkin kita tidak pernah mengira bahwa Alfagih bertindak mengurusi perkebunan dan sawah ladangnya sendiri, mengatur rumah tangga dan keluarga, bahkan kadang-kadang berbelanja sendiri ke pasar. Kita mungkin tidak pernah rnembayangkan bahwa perkebunan Alfagih ini terdiri dari ribuan batang pohon kurma dan buah kurma hasil perkebunan itu - seperti di riwayatkan di dalam Silsilah Al A’idarusiyah - adalah sekitar 360 guci (zier). setiap guci berisi sekitar 1800 rathl (kati).
Penulis kitab Almasyra’ Arrawiy bercerita tentang kekayaan Alhabib Abdullah bin Alawi Al-Ghuyur.[11] cucu Al-faqih Al-Muqaddam (wafat 731 H.) Abdullah bin Alawi Al-Ghuyur ini telah mewakafkan untuk masjid Bani Alawi di Tarim seharga 90.000 dinar. Ia mempunyai daftar tetap yang didalamnya tercatat nama orang-orang yang memerlukan bantuan, selain hadiah-hadiah yang diberikan kepada para penyair. Kendati demikian, ditinjau dari segi tasawuf dan ibadahnya, hampir tidak ada orang yang dapat menandinginya. Sedang dari ilmu, telah dicatat bahwa dia pernah berguru kepada seribu orang Syekh (guru) terdiri dari ulama-ulama Yarnan, Hadramaut, Hijaz, Irak dan Maghrib(Afrika Utara).
Demikian pula dengan Habib Abdurrahman Assagaf, betapapun banyak kegiatan dan kesibukannya dalam rnengerjakan wirid, zikir dan rnengajar, namun memiliki perkebunan dan sawah ladang yang luas sekali serta meminta laporan tentang biaya-biaya yang dikeluarkan oleh, para pekerjanya, pada waktu antara maghrib dan isya’, seperti diriwayatkan oleh Alkhathib, penulis kitab Aljauhar. Pohonpohon kurmanya amatlah banyak, tidak sedikit di antara pohon-pohon itu yang ditanam dengan tangannya sendiri, sambil membaca surat YaSin pada setiap pohon yang ditanamnya.
Habib Umar Al Muhdhar putra Habib Abdurrahman Assaqaf, adalah seorang ulama besar yang diyakini sebagai seorang wali Allah, namun tergolong seorang yang cukup kaya, yang kekayaannya di antaranya adalah kapal-kapal, tanah-tanah pertanian, kebun kurma dan lain-lain, seperti diterangkan semua itu di dalam surat wasiatnya.
Demikian pula dengan Imam Abubakar Al-A’dani, putra Habib Abdullah Al-A’idarus ( yang makamnya cukup terkenal di kota Aden ) tergolong seorang hartawan di zamannya.Setiap hari memotong 30 ekor kambing untuk menjamu para tamu dalam berbuka puasa seperti dicatat oleh penulis biografinya.Imam Abu Bakar Al-A’dani telah melunasi hutang ayahnya setelah wafat sebanyak 30 ribu dinar. Imam Abu Bakar Al-A’dani wafat 914 H.
Demikian pula halnya dengan keturunan Habib Abdullah bin Syekh Al-A’idarus ( keponakan al-A’dani ), yang banyak berhubungan dengan raja-raja India. Kita akan kagum mempelajari riwayat hidup mereka, sebab di samping hasil karya ilmiah yang mereka cipta dan perbaikan sosial yang mereka lakukan serta ketekunan mereka di bidang ilmu dan ibadah, tokoh-tokoh ini mampu memiliki kekayaan yang demikian besar, menandingi para raja dan pangeran. Sedang sebagian besar kekayaan itu, dinafkahkan untuk perbaikan sosial dan kepentingan umum.[12]
Jadi, faharn tasawuf yang dianut oleh golongan Alawiyin adalah ajaran tasawuf yang wajar dan sehat, tidak membawa pengikutnya menjurus kepada fanatisme dan jumud (kebekuan) atau menjurus kepada ekstrimisme dan ingkar. Ajaran tasawuf mereka merupakan sikap tengah yang memelihara keseimbangan dalam semua segi.
Perlu kiranya dicatat disini, bahwa apa yang dihubungkan kepada tokoh-tokoh Alawiyin berupa latihan amat banyak secara umum tidak mampu dilakukan manusia biasa serta bertentangan dengan naluri yang wajar, baik itu berupa tidak tidur siang malam untuk beberapa tahun lamanya berhenti makan dan minum berpuluh-puluh hari secara terus menerus, maupun mengkhatamkan pembacaan Alqur’an beberapa kali di waktu siang dan beberapa kali di waktu malam. Hal - hal semacam itu hanyalah merupakan tindakan-tindakan khusus yang hanya mampu dilakukan oleh orang-orang tertentu saja yang memang diberi kemauan dan kemampuan oleh Allah, di samping adanya kesediaan batin untuk melakukannya. Hal-hal semacam ini memang tidak dapat dilakukan oleh selain mereka sebab sifatnya yang khusus dan merupakan pengecualian dan yang umum. Bahkan lingkungan mereka sendiri memandang hal itu sebagai sesuatu yang aneh, sehingga apabila ada yang menceritakannya, hanyalah sekadar menyatakan rasa kagum terhadap sesuatu yang luar biasa.
Akan tetapi hal-hal semacarn itu boleh saja digolongkan sebagai “karamah” yang telah diuraikan oleh ulama (tasawuf) secara jelas. Perlu pula dicatat di sini, bahwa pernyataan-pernyataan yang kadang-kadang diucapkan oleh beberapa tokoh Alawiyin tertentu - seperti dicatat oleh sebagian penulis sejarah terdahulu yang pada lahirnya bertentangan dengan prinsip-prinsip syara’, dan yang terkenal dengan sebutan syathahat adalah bukan karena mereka telah meyakini faham “wahdatul wujud” (panteisme), bukan pula untuk menyatakan kesombongan dan membanggakan diri, seperti dituduhkan oleh sementara orang. Sebab kebersihan pribadi dan kejujuran tokoh-tokoh itu cukup dikenal dalam sejarah. Pada hakikatnya, pernyataan-pernyataan itu dilontarkan pada saat mereka dalam keadaan ganjil dan luar biasa, di mana mereka berada dalam suasana tak sadar (keadaan fana), sehingga apa yang diucapkan itu dapatlah dimaafkan, dan tidak dapat dicatat sebagai pelanggaran yang mengakibatkan dosa, apalagi kufur.
Betapa pun juga, tidaklah sepatutnya hal-hal seperti itu disiarkan, mengingat mereka sendiri pun tidak rnenyukainya.
• Organisasi Alawiyin “Annagabah”
Pada tahap pertama sejarah perkembangan Alawiyin, sebelum bercabang-cabang dan bersuku-suku, kaum Alawiyin tidak merasa perlu untuk membuat suatu sistem sosial khusus sebagai pengatur kehidupan mereka. Cukuplah bagi golongan ini untuk mempunyai seorang atau beberapa orang pemimpin yang secara otomatis diakui sebagai pemimpin keluarga atau marga.
Baru pada tahap kedua dalam sejarah perkembangan Alawiyin, setelah menjadi banyak dan tersebar ke berbagai daerah terasalah bagi tokoh Alawiyin guna membela dan memelihara kedudukan dan kepentingan mereka, melindungi kehormatan serta memecahkan problema yang timbul, baik yang bersifat intern maupun ekstern. Sistim ini dikenal dengan sebutan ” Nagabah”.
Sistem ini baru diadakan pada zaman Habib Umar Al-Muhdhar, yakni pada akhir abad kesembilan Hijriah, di mana Habib Umar Al Muhdhar sekaligus terpilih sebagai Naqib. Dewan “Nagabah” ini terdiri dari sepuluh anggota yang dipilih. Setiap anggota mewakili kelompok keluarga atau suku dan dikukuhkan oleh 5 orang sesepuh suku itu dan menjamin segala hak dan kewajiban yang dibebankan atas wakil mereka, sebagai tersirat di dalam teks piagam yang disetujui oleh tokoh-tokoh Alawiyin dan pernah dimuat di majalah Al-Jam’iyah, nornor 8, tahun 1357 H.
Dewan yang terdiri atas 10 anggota ini rnengatur segala sesuatu yang dipandang perlu sesuai kepentingan, dan bersesuaian pula dengan ajaran syari’at Islam serta disetujui oleh pemimpin umum. Apabila keputusan telah ditetapkan maka diajukanlah kepada pemimpin umum (atau Nagib) untuk disahkan dan selanjutnya dilaksanakan.
Dengan demikian jelaslah, sepuluh orang anggota dewan masing-masing merupakan wakil-wakil atau naqib-naqib dari setiap kelompok atau suku, sedang wakil-wakil itu dipimpin oleh “Naqib Annagabah” [atau Naqib para Naqib] yang kemudian dikenal pula dengan sebutan “Nagib Al-Asyraf”. Setiap anggota dewan sangat patuh dan taat terhadapnya. Dan kepadanya pula dikembalikan segala problema, serta pelaksanaan organisasi dan perbaikan, di samping ia merupakan lambang kekuatan, kesepakatan, wibawa dan pengaruh Alawiyin.
Dalam memecahkan persoalan yang dihadapi, lembaga ini akan menempuh cara damai. Namun jika tidak berhasil, maka digunakanlah cara boikot, yaitu Nagib memutuskan hubungan dengan orang-orang yang dianggap melakukan pelanggaran atau membangkang, dengan cara menolak berjabat tangan (bersalam-salaman) maupun dengan cara-cara lain. ‘Tindakan Naqib akan diikuti semua Alawiyin, sehingga orang itu kembali kepada jalan yang benar.
Apa yang kami tuturkan ini adalah bersumberkan piagam yang telah kami sebutkan, di atas dan ditetapkan oleh Alawiyin pada zaman Habib Umar Al Muhdhar, dan didukung dan dibubuhi tanda tangan Sultan Tarim ketika itu, yaitu Sultan bin Duais bin Yamani. Sultan ini berjanji akan membantu terlaksananya ketentuan-ketentuan yang termaktub di dalam piagam itu, yang diikuti pula oleh tanda tangan seluruh naqib (anggota dewan) beserta pendukungnya yang jumlah keseluruhan tidak kurang dari 50 orang.
Patut disayangkan bahwa teks piagam ini tidak rnenyebutkan tanggal dan tahun penulisannya dan juga tidak menyebut urut-urutan nama (daftar) para nagib yang pernah menduduki jabatan itu, namun dengan membaca kembali kitab-kitab biografi Alawiyin, seperti kitah Al-Masyra ‘Arrawiy dan lain-lain, menerangkan bahwa di antara para Naqib yang terkenal, antara lain adalah Habib Abdullah Al-A’idarus Al-Akbar (wafat 865 H.). Sebab setelah Habib Umar Al Muhdhar wafat, tokoh-tokoh Alawiyin telah sepakat untuk mengangkat Muhammad bin Hasan bin Asad Allah, yang terkenal dengan gelar Jamalullail untuk diangkat sebagai Nagib, namun ia menolak dan menunjuk Habib Abdullah Al-A’idarus sebagai gantinya, yang saat itu masih berusia muda, tetapi telah menunjukkan kemampuan untuk memangku jabatan tersebut. Akhirnya - setelah pertamanya menolak juga – Habib Abdullah Al-A’idarus menerima. Pengganti A1-A’idarus adalah Imam Ahmad bin Alawi Bajahdab yang wafat tahun 973 H. Berikutnya Habib Abdullah bin Syekh bin Abubakar Al-A’idarus (wafat 1019 H.), kemudian putranya bernama Habib Zainal Abidin (wafat 1041 H.).
Adapun pada masa-masa selanjutnya saya tidak menemukan catatan sejarah yang menegaskan adanya seorang Naqib yang dipilih, meskipun kadang-kadang terjadi kepemimpinan seorang tokoh Alawiyin semata-mata karena daya tarik kharisma dan kekuatan pribadinya di samping memang memenuhi persyaratan untuk jabatan sebagai Naqib.
Pada masa-masa selanjutnya telah timbul pula sistem “Manshabah”, yang tersebar luas di beberapa daerah Hadramaut. Tugas “Munshib” pada dasarnya adalah mendamaikan sengketa yang terjadi antara suku-suku yang memanggul senjata, menyebarluaskan ilmu dan dakwah, menjamu para tamu yang datang berkunjung. Soal ini akan dibicarakan lebih luas lagi kemudian.
Pernah pada masa akhir-akhir ini muncul seorang tokoh yang mengungguli tokoh-tokoh Alawiyin yang lain dalam ilmu, pengaruh dan kedermawanannya, yaitu pribadi Habib Muhammad bin Thahir Al-Haddad (wafat 1316 H.) sehingga sepakatlah tokoh-tokoh Alawiyin untuk mengangkatnya sebagai Nagib. Mereka telah menandatangani piagam untuk pengangkatannya itu. namun ada seorang tokoh yang cukup terkenal dan berpengaruh tidak menyetujui pengangkatan itu. Yaitu Habib Husein bin Hamid Al-Muhdhar, sehingga rencana itu akhirnya gagal .
Ada pula riwayat yarg menerangkan, selain Habib Husein tersebut ada dua tokoh lain yang tidak menyetujui. Dengan demikian maka yang bersikap oposisi terhadap pengangkatan itu hanya tiga orang saja, namun mereka orang-orang yang cukup kuat, sehingga golongan oposisi yang kecil itu dapat rnengalahkan mayoritas yang menyetujui..
Barangkali, seandainya pengangkatan Al-Haddad sebagai Nagib ini terlaksana, tokoh ini akan mampu menarik Alawiyin kembali kepada cara hidup pendahu pendahunya, serta menghidupkan tradisi-tradisi mulia yang hampir hilang.
TAHAP KETIGA
Tahap ini bermula dari abad kesebelas H. hingga abad keempat belas H. Tokoh-tokoh abad ini dikenal dengan gelar ” Habib “, seperti Habib Abdullah Al-Haddad, Habib Ahmad bin Zen Al-Habsyi, Habib Hasan bin Shaleh Al-Bahr Al Jufrie dan lain lain.
Tingkat ilmiah dan tasawuf tahap ini - secara umum - berada di bawah tingkat sebelumnya. Kendati demikian, telah muncul di atas pentas tokoh-tokoh yang cukup menonjol serta pribadi-pribadi istimewa tidak kurang peranannya dari tokoh-tokoh kedua tahap sebelumnya. Tokoh utarna tahap ini adalah Habib Abdullah Al-Haddad (wafat 1132 H.) - sebagai tokoh puncak golongan Alawiyin masa itu, dan Habib Abdurrahman bin Abdullah Bilfagih (wafat 1163 H.).
• Hijrah Kaum Alawiyin
Tahap ini ditandai dengan derasnya arus hijrah - melebihi masa-masa sebelumnya - ke India, pada abad kesebelas dan keduabelas H. yang kemudian berlanjut dengan hijrah ke negara-negara Asia Tenggara (Indonesia dan Malaysia) pada abad-abad berikutnya.
Adapun faktor yang mendorong Alawiyin melakukan hijrah adalah seperti telah disinggung pada pembahasan perkembangan alawiyin pada masa tahap pertama ditambah pula dengan perkembangan alawiyin di Hadramaut melebihi masa-masa sebelumnya. Sedemikian sehingga mereka yang berada di luar lebih besar dari mereka yang berada di tanah air sendiri, di mana di negeri mereka Hadramaut - kemungkinan yang tersedia tidak mampu memberi kepuasan bagi perwujudan cita-cita mereka.
Oleh karena itu, wajarlah kiranya apabila mereka berhijrah, lalu menjadikan daerah baru itu sebagai tanah airnya. Dan tidak aneh pula apabila mereka kemudian menonjol, serta menunjukkan kemampuan-kemampuan luar biasa sehingga dapat menduduki posisi-posisi penting, memegang kendali perekonomian, kegiatan keagamaan bahkan kadang-kadang juga kekuasaan eksekutif. Kaum Alawiyin dalam hal ini juga diikuti oleh golongan-golongan lain yang hijrah dari Hadramaut, baik mereka yang hijrah ke Timur Jauh, Afrika Timur, Hijaz (Saudi Arabia) dan lain-lain. Bahkan ada di antara mereka yang kemudian mendirikan kerajaan atau kesultanan yang peninggalannya masih dapat disaksikan hingga kini. Seperti kerajaan Al ‘Aidarus di Surrat (India), Kesultanan Al-Qadri dan Al-Syekh Abubakar di Kepulauan Komoro (Comores), Al-Syahab di Siak, Al-Qadri di Pontianak dan Al-Bafagih di Pilipina.
Kerajaan-kerajaan tersebut mempunyai sejarah terinci, sebagian di antaranya dimuat oleh majalah Arrabithah Al-Alawiyah dan majalah Annahdhah Al Hadhramiyah. Kedua sumber ini bisa dijadikan bahan penelitian bagi mereka yang berminat untuk rnengkajinya. Melalui kaum Alawiyin, Islam tersebar luas di Indonesia, Malaysia dan Pilipina.
Hijrah kaum Alawiyin - dan saudara-saudara mereka lainnya dari Hadramaut - ke negara-negara tetangga (negara-negara Arab di Timur Tengah), tidak banyak mempengaruhi tradisi, juga bahasa mereka, yakni di negara-negara yang berbahasa Arab, seperti Hijaz (Saudi Arabia), negara-negara Teluk, Mesir, Syam (Suria) dan Sudan, kendati di tiga negeri terakhir ini jumlah mereka tidak banyak.
Adapun di perantauan luar Arabia, seperti negara-negara Islam tersebut di atas, maka dengan sendirinya mereka telah mengadakan hubungan kekeluargaan melalui pernikahan untuk mempererat hubungan dengan penduduk setempat, karena memang sulit bagi mereka memboyong keluarga bersama mereka. Seandainya yang demikian terjadi (yakni rnembawa isteri-isteri dan anak-anak mereka) maka bahasa Arab akan lebih cepat dan lebih luas tersiar, sebagai bahasa Alqur’an yang dimuliakan oleh kaum Muslimin.
Akan tetapi, meskipun telah melakukan pembauran di daerah-daerah yang amat jauh itu, namun hingga waktu yang lama mereka masih rnemelihara tradisi dan mengenang tanah air, terutama Tarim, sebagai pusat ilmu dan pusat Alawiyin. Sekali-sekali mereka berkunjung ke negeri itu untuk berziarah. Baru beberapa abad kemudian hubungan mereka dengan negeri asal berkurang, sehingga dengan mudah dipengaruhi oleh lingkungan di mana mereka hidup, untuk lanjutnya terlebur di dalam periuk acuannya, walaupun agama dan adat istiadat yang hak tetap terpelihara.
Bahkan pada masa sementara Alawiyin masih mengunjungi negeri asal, mereka telah mernbawa kebudayaan dan tradisi India, Jawa (Indonesia), dan daerah atau negara lain di mana mereka hidup. Hal ini tampak jelas pada awal abad ketigabelas H.
Adalah sangat aneh jika ada sementara tokoh Alawiyin yang menentang hijrahnya Alawiyin ke luar dan menganjurkan dengan gigih agar mereka tetap tinggal di negerinya (Hadramaut), terutama pada ketiga abad terakhir ini - namun tidak ada di antara para pemikir atau sesepuh yang berusaha secara sungguh-sungguh memberi jalan yang dapat menghalangi laju arus hijrah ini. Yaitu dengan menyebar luaskan kesadaran, menggalakkan pertanian, membuat mereka merasa puas untuk hidup sederhana serta meninggalkan tradisi-tradisi yang merugikan. Kalau pun ada, orang-orang yang cukup memperingatkan hal demikian itu, amatlah sedikit. Di antara mereka adalah Habib Muhsin bin Alawi Assaqaf (wafat 1293 H.)
Adapun untuk tidak melakukan hijrah sama sekali dari Hadramaut - baik bagi Alawiyin maupun penduduk Hadramaut secara keseluruhan - memanglah merupakan hal yang tidak dimungkinkan oleh keadaan negeri itu sendiri sejak dahulu kala.
• Para Munshib
Pada tahap perkembangan ini, lahirlah jabatan ” Munshib”. Jabatan itu sendiri dikenal sebagai “Manshabah”. Sebagian besar Munshib Alawiyin muncul pada abad kesebelas dan abad keduabelas H. Seperti Munshib Al-Attas, Munshib Al ‘Aidarus, Munshib Al-Syekh Abubakar bin Salim, Munshib Alhabsyi, Munshib Al Haddad, Al-Jufri, Al-Alawi bin Ali, Al-Syathiri, Al-Abu Numay dan lain-lain.
Tugas yang dilakukan oleh lembaga ini adalah tugas yang mulia dan bermanfaat, baik bagi agama maupun bagi sesama manusia. Pemangku jabatan ini - yang menerimanya secara turun temurun - selalu berusaha mendamaikan suku-suku yang bersengketa - khususnya sengketa antara suku-suku yang bersenjata - menjamu tamu yang datang berkunjung, menolong orang-orang lemah, memberi petunjuk kepada mereka yang memerlukan petunjuk dan bantuan bagi yang memerlukan bantuan.
Lembaga ini senantiasa memainkan perannya hingga kini (1948 M), sesuai dengan tujuan “Manshabah” yang didirikan untuknya. Para Munshib tidak jarang mengorbankan harta dan kepentingan pribadi demi tugas dan jabatannya. Hanya saja generasi yang kernudian biasanya makin lemah bila dibanding dengan pendahulunya, baik di bidang keahlian, kemampuan, maupun kewibawaan, sehingga secara berangsur, lembaga ini makin lama makin berkurang peranannya. Hal ini terutarna disebabkan kurangnya perhatian terhadap pendidikan, baik ilrnu maupun keahlian, sesuai dangan, apa yang dahulu dikuasai oleh bapak-bapak mereka.
• Golongan Alawiyin dan Politik
Pada pasal-pasal lampau telah dibicarakan sejarah perkembangan Alawiyin dalam berbagai bidang kehidupan pada ketiga tahap terdahulu. Kini hanya tinggal bidang politik.
Adalah merupakan prinsip yang rnenjadi pegangan tokoh-tokoh Alawiyin, mereka senantiasa menjauhkan diri dan tidak hendak mencampuri urusan politik, kecuali dalam hal-hal yang erat hubungannya dengan kepentingan dan maslahat umum. Yaitu dengan menggunakan pengaruh spiritual mereka, dan hanya pada batas-batas tertentu.
Disebutkan dalam biografi bahwa Al Muhdhar, Al-A’idarus. Al-A’dani, Zain Al-A’bidin Al-A’idarus, Al-Haddad dan lain-lain adakalanya mereka bergaul dengan para raja dan penguasa negeri serta mengadakan surat rnenyurat dengan mereka. Para penguasa itu pun sering meminta nasihat dan petunjuk dari tokoh-tokoh tersebut serta mengharap doa mereka. Namun, bila diteliti hubungan mereka dengan para penguasa nyatalah bahwa hubungan mereka tidak lebih daripada mengarahkan para penguasa agar melakukan kebijaksanaan yang sesuai dengan keadilan dan kepentingan umum.
Meskipun tokoh-tokoh Alawiyin mempunyai pengaruh spiritual yang cukup besar di kalangan suku-suku bersenjata, namun mereka tak pernah; mengeksploitasi pengaruh itu untuk tujuan-tujuan yang tidak layak.
Jika sekiranya mereka mengarahkan minat, demi kepentingan pribadi, atau berambisi meraih kekuasaan politis, dengan mudah mereka akan mencapai apa yang dinginkannya. Pada masa-masa itu seringkali peluang terbuka dan kesempatan ada, namun mereka tidak pernah memanfaatkannya, seperti dapat diketahui oleh mereka yang mengkuti dan mengkaji sejarah Hadramaut. Seperti pada peristiwa yang terjadi di antara Zain’ Al-Abidin AI-A’idarus dengan Hasan bin Al-Qasim, Imam golongan Zaidiyah dari Yaman, peristiwa Husein bin Sahl dengan Syekh Awadh Gharamah, semua itu merupakan bukti-bukti nyata bagi apa yang dikemukakan tadi.”[13]
Dalam hal ini, dapatkah kiranya dikemukakan alasan seperti telah disebutkan sebelum ini, tentang langkanya karya-karya tulis dalam bidang ilmu pengetahuan, dan budaya, yaitu akibat sangat dalamnya pengaruh ajaran tasawuf dalam jiwa rnereka? Atau mungkin juga ada alasan-alasan lain yang hingga kini belum terungkap mengingat apa yang terjadi dalam praktek seringkali jauh berbeda dengan dasar-dasar teori semata?
Bagaimana pun juga, jelaslah, bahwa Alawiyin tidak pernah berusaha, apalagi berpetualang, untuk mencapai keberhasilan dalam bidang politik baik untuk mendirikan kerajaan atau kesultanan, seperti dilakukan oleh saudara-saudara sepupu mereka yaitu Syarif-Syarif Mekkah, para Sultan di negeri Maghrib (Afrika Utara) dan para Imam di Yaman.
Adanya pribadi-pribadi tertentu dari kaum Alawiyin yang pernah berhasil mendirikan kerajaan atau kesultanan, seperti disebutkan sebelum ini, tidak dapat dijadikan dasar umum bagi cara hidup salaf dan tokoh Alawiyin. Kadang-kadang pengaruh situasi dan kondisi begitu kuat untuk menentukan sikap. Suasana demikian itulah yang membuat sementara Alawiyin mernegang tampuk pimpinan dan tidak dapat mengelak untuk menghindar dari jabatan.
TAHAP KEEMPAT
Tahap ini bermula dari abad keEmpat Belas H. hingga kini. Yakni, di dalam pasal ini kita akan berbicara tentang keadaan kita sekarang, agar dapat membuat perbandingan antara kita sendiri dengan perilaku dan sejarah salaf kita yang terdahulu.
Adalah sangat disayangkan bahwa tahap ini - dibanding dengan tahap-tahap sebelumnya - merupakan masa kemunduran dan kemerosotan di hampir semua bidang kehidupan. Bahkan kemunduran dan kemerosotan ini merupakan gejala umum yang menimpa seluruh dunia Islam.
Meskipun demikian, adanya perbedaan antara tahap pertama dengan tahap-tahap berikutnya memang benar-benar terasa. Makin jauh kereta sejarah berjalan, makin jauh kemunduran dan kemerosotan itu terasa, makin surut sinar keagungan Alawiyin dan makin tenggelam ke dasar.
Keadaan demikian ini merupakan kebalikan bagi bangsa-bangsa yang ‘hidup’, yang makin lama makin maju (14)
• Diagnosa dan Pengobatan
Faktor utama yang menyebabkan kemunduran itu adalah tidak adanya pendidikan yang benar dan tepat. Salaf kita dahulu adalah orang-orang yang amat ahli dalam bidang ini. Melalui jalur itu, mereka mengarahkan putra-putra mereka sesuai dengan apa yang mereka rencanakan dan mereka kehendaki, untuk rnemuaskan hati mereka. Perguruan tinggi dan fakultas kaum Alawiyin adalah alam terbuka dan lingkungan hidup itu sendiri.
Adalah keliru apabila kita beranggapan bahwa lingkungan kita, sekolah-sekolah kita, majlis-majlis ta’lim kita sekarang merupakan sarana pendidikan yang di dalamnya disalurkan ajaran-ajaran seperti yang dahulu diajarkan oleh salaf kepada putra-putra mereka. Bahkan kenyataan yang kita lihat adalah kebalikan dari apa yang dahulu dikerjakan oleh para salaf itu.
Kemerosotan akhlak di kalangan sementara Alawiyin telah mencapai derajat terendah, demikian pula surutnya ilmu pengetahuan, di samping tersebarnya penyakit-penyakit sosial.
Alhasil, kini kita sedang mengalami kemunduran yang mengerikan, padahal jalan untuk mengatasi semua itu adalah jelas, yaitu, kembali mengikuti cara hidup para salaf dalam ilmu, akhlak dan amal, sehingga semua tindakan yang kita lakukan sesuai dengan status kita di tengah masyarakat. Demikian pula halnya dengan kaum Muslimin secara keseluruhan. Sebab, “akhir umat ini tidak akan menjadi baik melainkan dengan cara-cara yang dahulu memperbaiki pendahulunya “, demikian ditegaskan oleh pemimpin besar umat ini, Rasul Allah saw.
Marilah kita usahakan. Dan Allah akan senantiasa menolong mereka yang membela dan menegakkan ajaran-Nya.
*************

CATATAN KAKI / FOOTNOTE
01. Abdullah bin Alwi Al -Haddad. Allah telah menganugerahkan kepada Abdullah Al Haddad daya hafal yang luar bisa, sehingga telah hafal Al-Qur’an seluruhnya dalam usia kecil. Kendati telah mengalami penyakit sehingga menyebabkannya menjadi seorang tunanetra, namun ketajaman hati dan kecerdasan fikirannya melebihi mereka yang berpenglihatan sempurna. Al-Haddad telah mampu menguasai berbagai ilmu yang diajarkan oleh guru-guru kepadanya, lalu muncul sebagai seorang tokoh besar dalam ilmu-ilmu Syari’at, Tasawuf dan Bahasa, maka berdatanganlah para murid dari segenap penjuru untuk mereguk sumber ilmu yang deras ini. Di samping pelajaran yang disampaikan secara langsung, Al Haddad telah pula mengarang beberapa buku yang kemudian tersebar luas. Karya-karya Al Haddad ini antara lain : Annasha’ih Addiniyah, Risalah Almu’awanah, sebuah Diwan (kumpulan syair) dan lain-lain. Wafat di Tarim 1132 H.
02. Habib Ali bin Abubakar As Sakran bin Abdurrahman Assagaf, bergelar AsSakran (dimabuk cinta Ilahi). Terkenal dalam berbagai bidang ilmu, khususnya tasawuf. Wirid As Sakran hingga kini masih banyak dibaca orang. Wafat 895 H.
03. Imam Ahmad bin Isa Ar Rumi bin Muhammad An Naqib bin Ali Al-Uraidhi bin Ja’farAsshadiq bin Muhammad Al-Bagir bin Ali Zainal Abidin bin Husin. Al Muhajir Ila Allah (orang yang berhijrah menuntut ridha Allah) meninggalkan Basrah di Irak pada tahun 317 H. bersama keluarga dan pengikutnya yang berjumlah 70 orang, menuju Hijaz (Saudi Arabia), kemudian ke Yaman (Utara), dan selanjutnya Hadramaut (Yaman Selatan). Al Muhajir sampai di Hadramaut pada tahun 318 H dan untuk pertama kali mendirikan rumah di Hajrain, lalu pindah ke Husayisah tempat beliau menetap hingga wafat pada tahun 345 H.
04. Ibadhiah adalah salah satu golongan Khawarij di bawah pimpinan Abdullah bin Ibadh. Berkali-kali kelompok ini memberontak terhadap kekuasaan Bani Umayyah dan yang paling terkenal adalah pemberontakan mereka dibawah pimpinan Abdullah bin Yahya,sekitar tahun 129 H . Golongan ini kemudian mengembangkan pengaruhnya di Oman, Yaman dan Hadramaut.
05. Imam Muhammad bin Ali bin Muhammad bin Ali bin Alawi bin Muhammad bin Alawi bin Ubaidillah bin Ahmad AlMuhajir. Al-Fagih Al Muqaddam adalah tokoh Alawiyin pertama yang menyebarluaskan ajaran tasawuf, setelah mengenakan “khirgah” (baju tasawuf) dari seorang tokoh ahli sufi, ialah Syekh Abu Madyan. Al Faqih Al Muqaddam menerima “khirgah” itu melalui seorang perantara, Syekh Abdurrahman bin Muhammad Al Muq’ad, seorang murid Syekh Abu Madyan. Syekh Abdurrahman diutus oleh gurunya khusus untuk tugas itu, tapi ia telah wafat di Makkah sebelum sempat menemui Al Fagih Al Muqaddam. Meski demikian, sebelum wafat ia telah melimpahkan misi itu kepada kawan yang dapat dipercaya ialah Syekh Abdullah Al Maghribi untuk menyampaikan “khirgah” kepada Al Fagih Al Muqaddam di Tarim, Menurut kitab AlMasyra ‘Arrawiy, Al Fagih Al Mugaddam telah mencapai derajat Al Mujtahid Al Muthlaq di dalam ilmu Syari’at, - makam Al Quthbiyah di dalam bidang tasawuf. Gurunya ,Syech Muhammad Bamarwan mengatakan Al Faqih Muqaddam telah memenuhi syarat untuk menduduki jabatan AI-Imamah- Wafat 653 H.
06. Habib Abdurrahman bin Muhammad (Maula Addawilah) bin Ali bin Alawiy bin Muhammad Alfagih Al muqaddam. Ulama besar yang telah mencetak berpuluh ulama, termasuk di antara mereka adalah putra-putranya sendiri, saudaranya Al-Imam Alawi bin Muhammad, Imam Sa’ad bin Ali Madzhij, Syekh Ali bin Muhammad Al-Khathib dan banyak lagi. Bergelar Assagaf karena kedudukannya sebagai “pengayom”, serta tingginya derajat ulama ini baik dalam ilmu maupun tasawuf. Sangat terkenal sebagai dermawan. Assagaf telah mendirikan 10 mesjid disertai wakaf untuk mencukupi kebutuhan mesjid-mesjid itu, Memiliki banyak kebunkebun kurma, namun segala kekayaan itu tidak sedikit pun memberatkan atau merisaukan hatinya, apalagi merintangi ketekunannya dalam ibadah. “Sehingga kalau seandainya dikatakan kepadaku,” kata Assagaf, “kebun-kebun itu tidak ada yang berbuah, aku akan menari kegirangan“. Di antara kata mutiara Assagaf adalah sebagai berikut : “Manusia semua membutuhkan ilmu, ilmu membutuhkan amal, amal membutuhkan akal dan akal membutuhkan taufik. Semua ilmu tanpa amal tidak berguna. Ilmu dan amal tanpa niat adalah sia-sia. Ilmu, amal dan niat tanpa mengikuti sunnah adalah tidak diterima. Ilmu, amal, niat dan sunnah tanpa wara’ (sangat hati-hati dalam menjalankan yang halal) adalah kerugian”. Assaqaf wafat pada tahun 819 H.
07. Umar Al Muhdhar bin Abdurrahman Assagqaf. Imam zamannya dalam ilmu, tokoh dalam tasawuf. Terkenal dengan kemurahan hatinya. Rumahnya tidak pernab sunyi dari para tamu yang datang berkunjung baik untuk kepentingan agama maupun kepentingan duniawi - Menjamin nafkah beberapa keluarga yang tak mampu dan mendirikan tiga buah mesjid. Umar Al Muhdhar terkenal dengan doanya yang amat mustajab. Wafat 833 H
08. Abdullah bin Abubakar bin Abdurrahman Assagaf terkenal dengan gelar A1-A’idarus (AlAydrus), Ia berusia 10 tahun, ketika ayahnya wafat dan langsung diasuh oleh pamannya, Umar Al Muhdhar, yang sekaligus bertindak sebagai gurunya. Ia telah mempelajari ilmu-ilmu Syari’at, Tasawuf dan Bahasa. Ketika AI-Muhdhar wafat, ia berusia 25 tahun. Tokoh-tokoh Alawiyin telah sepakat untuk mengangkat Imam Muhammad bin Hasan. Jamal Al-Lail sebagai Naqib, namun menolak dan menyarankan agar mengangkat Abdullah Al-A’idarus ini untuk menggantikan pamannya. Ulama besar yang bertindak menyebarluaskan ilmu dan dakwah, tekun dan mengisi waktunya dengan ibadah, menyalurkan hartanya untuk kepentingan umum. Di dalam kitab Almasyra’ dinyatakan: “Dalam kedermawanan bagaikan seorang amir, namun dalam tawadhu’ bagaikan seorang fakir”. Sangat senang menampakkan nikmat Allah atas dirinya dengan mengenakan pakaian-pakaian indah, kendaraan yang megah dan rumah yang bagus. Wafat 865 H.
09. Habib Ali Zain Al-Abidin bin Abdullah bin Syekh Al ‘Aidarus, adalah seorang Imam yang terkenal dalam berbagai ilmu. Guru utamanya adalah ayahnya sendiri. Ia bertindak sebagai murid dan pelayan ayahnya, tidak pernah berpisah selama ayahnya hidup. Setelah ayahnya wafat, Zainal Abidin menggantikan ayahnya itu sebagai Naqib, mencurahkan seluruh tenaga dan pikiran demi kepentingan masyarakat umumnya, dan Alawiyin khususnya. Zain Al-Abidin sangat dihormati dan disegani oleh Sultan, di mana Sultan tidak memutuskan sesuatu sebelum terlebih dahulu meminta pendapat Imam ini, bahkan tidak jarang Sultan datang ke rumahnya untuk sesuatu kepentingan, baik yang bersifat pribadi maupun umum. Akibat kedudukan yang tinggi ini, Zain Al-Abidin menghadapi banyak lawan, namun selalu menghadapi mereka dengan cara yang bijaksana. sehingga akhirnya lawan berubah menjadi kawan. di samping sebagai guru besar dalam ilmu-ilmu Syariat, Tasawuf dan Bahasa, ia menguasai soal pertanian dan bidang -bidang profesi lain; memberi petunjuk kepada mereka yang memerlukan petunjuk, bahkan di penghujung hayatnya ia sering mengobati mereka yang menderita penyakit, sebagai tabib. Wafat 1041 H
10. Ulama telah merasa puas dengan karya-karya Imam Al-Ghazzali dan Annawawi sehingga tidak merasa perlu untuk menyusun kitab-kitab sendiri baik dalam ilmu Syari’at, Tasawuf maupun Akhlak. Mereka mencurahkan tenaga dan fikiran untuk mengamalkan dan menyebarluaskan ajaran-ajaran yang terkandung di dalam kitab-kitab itu.
11. Habib Abdullah bin Alawi bin Muhammad Al Faqih Al Muqaddam. Setelah menyelesaikan pendidikan pada ayah dan datuknya, Al Faqih Almugaddam, ia meneruskan pendidikannya ke Yaman dan Hijaz untuk berguru kepada ulama-ulama besar di kedua negeri itu Kemudian bermukim di tanah suci untuk menyebarluaskan ilmu dan mengajarkanya. Karena mengajar dikedua kota suci Makkah dan Madinah ia digelari Imam Al-Haramain dan Mujaddid abad kedelapan Hijriah. Ketika itu datang berita wafatnya Imam Ali bin Alwi (sudara kandungnya) dimana tokoh-tokoh Hadramaut telah menulis sepucuk surat ta’ziah dan sekaligus memintanya kembali pulang ke kampung halaman untuk memimpin umat dan menggantikan kedudukan Almarhum sebagai da’i dan mengajarkan berbagai ilmu kepada mereka yang menuntutnya. Berpuluh murid telah dicetak menjadi ulama besar termasuk di antara mereka adalah putra-putranya sendiri, Ali, Ahmad dan Muhammad. Wafat di Tarim, pada tahun 731 H
12. Alawiyin telah berjuang-bersama seluruh rakyat melawan portugis yang datang menyerang pesisir Hadramaut dengan tujuan menduduki negeri itu pada tahun 1097 H. Berkat kegigihan mereka telah berhasil mengusir kaum kolonial , Kendati telah gugur para syuhada dalam peristiwa ini .
13. Salah satu bukti yang menguatkan hal di atas adalah peristiwa di mana Sultan Badr bin Thuwairiq berniat mengundurkan diri dari jabatannya dan menyerahkannya kepada Al-Imam Husein bin Syekh Abubakar bin Salim (wafat 1044 H.). Namun Imam Husein menolak dan menekankan kepada Sultan ini untuk tetap memangku jabatannya, serta dia pun akan selalu membantu dan mendampinginya
14. Kendati suasana umum amat suram — pada tahap ini – namun ada juga tokoh-tokoh yang sangat menonjol dalam ilmu dakwah dan perbaikan sosial seperti Al-Imam Ali bin Muhammad Alhabsyi - Shohibul Maulid Simtud Dhuror(wafat 1333 H.), Al-Imam Ahmad bin Hasan Al-Atthas - (wafat 1334 H.), Allamah Abubakar bin Abdurrahman Syahab (wafat 1341 H.), Habib Muhammad bin Thahir Al Haddad (wafat 1319 H.), Habib Husein bin Hamid Al Muhdhar (wafat 1341 H.), dan banyak lagi tokoh yang lain. Kendati demikian hal ini sangat kurang memadai bila dibanding dengan banyaknya Alawiyin secara keseluruhan yang memang cukup besar jumlahnya dan tersebar di
berbagai penjuru.

Gelar Keluarga Alawiyin di Hadramaut

AL-USTADZ AL-A'DZHAM

Beliau adalah Al-Faqih al-Muqaddam Muhammad bin Ali bin Muhammad Shahib Marbath.
Al-Faqih al-Muqaddam Muhammad bin Ali dijuluki dengan gelar al-ustadz al-a'zham karena beliau adalah seorang guru besar dan seorang sufi yang menjalankan thariqah kefakiran (hanya berhajat kepada Allah swt) dan bertasawuf dengan tasawuf yang bersih dan terpelihara dari hal-hal yang haram, berdasarkan al-quran dan al-sunnah yang disyiarkan dengan ruh Islam dan tauhid
Al-Faqih al-Muqaddam Muhammad bin Ali dikaruniai 5 orang anak laki yaitu Alwi al-Ghuyur, Ali, Ahmad, Abdullah dan Abdurahman. Dan yang meneruskan keturunanya hanya 3 orang yaitu: Alwi al-Ghuyur, Ali dan Ahmad.
Al-Faqih al-Muqaddam Muhammad bin Ali wafat di Tarim tahun 653 hijriyah.

ASADULLAH FI ARDHIHI
Beliau adalah waliyullah Muhammad bin Hasan Atturobi bin Ali bin Muhammad al-Faqih al-Muqaddam.
Sebab dinamakan dengan Asadullah Fi Ardhihi karena Syaikh Muhammad Asadullah sangat tekun membaca alquran dan memahami maknanya. Beliau selalu bangun untuk beribadat kepada Allah pada waktu akhir sepertiga malam, sehingga beliau merasakan dirinya fana'. Beliau bersemangat untuk membaca alquran dan memahami maknanya serta merasakan kenikmatan pada dirinya jika sedang membaca Alquran, sehingga beliau merasa sebagai seekor Singa dan berkata dalam keheningan malam dengan perkataan "Ana Asadullah Fi Ardhihi "
Dalam kitab al-Masyra' diceritakan bahwa beliau dikarunia enam orang anak laki, dan tiga orang yang meneruskan keturunan beliau, yaitu:
1. Abu Bakar Basyaiban (wafat tahun 800 hijriyah)
2. Hasan, menurunkan keluarga: Jamalullail, Bin Sahal, Baharun, al-Junaid, al-Qadri dan al-Siri), wafat tahun 757 hijriyah.
3. Ahmad, menurunkan keluarga: al-Syatri, al-Habsyi dan Syanbal.
Waliyullah Muhammad bin Hasan Atturobi wafat tahun 778 hijriyah.

Aal-A'YUN

Yang dijuluki al-A'yun diantaranya ialah waliyullah Alwi bin Abdullah bin Alwi bin Muhammad Maula al-Dawilah (datuk keluarga al-Muqaibil).
Gelar al-A'yun diberikan karena beliau mempunyai warna hitam yang lebar pada biji matanya sehingga terlihat indah.

Aal-ALBAR

Yang pertama kali digelari al-Bar adalah waliyullah Ali bin Ali bin Alwi bin Ahmad bin Muhammad bin Abdullah bin Alwi bin Ahmad bin Muhammad al-Faqih al-Muqaddam.
Beliau digelar dengan al-Baar karena sangat taat (berbakti) kepada ibunya dengan sebenar-benarnya taat yang hal tersebut sedikit sekali dilakukan oleh anak terhadap ibunya. Beliau dinamakan dengan nama ayahnya (Ali bin Ali), karena ketika ayahnya wafat, ia masih dalam kandungan ibunya, beliau hanya taat kepada ibunya karena ayahnya telah wafat. Waliyullah Ali bin Ali Albar dikarunia tiga orang anak laki bernama: Abubakar, Abdullah dan Husin.
Waliyullah Ali bin Ali al-Bar dilahirkan dan wafat di kota Dau'an, Hadramaut.

Aal-BATTAH
Mereka adalah anak cucu dari keluarga Syaikh Abu Bakar bin Salim dan datuk mereka ialah waliyullah Abu Bakar bin Ahmad bin Abdurahman bin Abi Bakar bin Ahmad bin Abi Bakar bin Abdullah bin Syaichon bin Husein bin Syaikh Abu Bakar bin Salim.
Dinamakan 'Battah' karena beliau dilahirkan di Battah sebuah kota yang terletak di sebelah Barat Sahil, Afrika Timur.

Aal-ALBAHAR

Mereka adalah keturunan dari keluarga al-Jufri. Datuk mereka adalah waliyullah Syaichan bin Alwi bin Abdullah Attarisi bin Alwi al-Chawas bin Abu Bakar al-Jufri.
Yang pertama kali digelari 'al-Bahar' adalah Waliyullah Saleh ayah dari Habib Hasan al-Bahar.
Gelar yang disandang menurut al-Syaich Abdullah bin Semir dalam kitabnya Giladat al-Nahri yang berisi manakib al-Habib Hasan bin Saleh al-Bahar, menyatakan bahwa yang pertama kali diberi gelar al-Bahar adalah ayahnya, Soleh. Gelar tersebut diberikan karena tampaknya keramat beliau ketika sering berlayar di laut. Di samping itu gelar tersebut diberikan karena ilmu beliau luas seperti luasnya laut.
Waliyullah Hasan bin Soleh Al-Bahar dikarunia lima orang anak laki yaitu: Muhammad, Abdullah, Ja'far, Abdul Kadir dan Soleh.

Aal-IBRAHIM

Yang pertama kali dijuluki al-Ibrahim ialah waliyullah Ibrahim bin Abdullah bin Abdullah bin Abdurahman Assaqqaf.
Sebab dinamakan al-Ibrahim karena nama tersebut dinisbahkan kepada nama kakeknya. Ibrahim merupakan nama Ibrani seperti Ismail, Ishaq, Yusuf dan Ya'kub yang kemudian nama tersebut dimasukkan ke dalam bahasa Arab.

Aal-BARAKAT

Mereka adalah keturunan waliyullah Syech bin Ali bin Muhammad Maula Dawilah bin Ali bin Alwi bin Muhammad al-Faqih al-Muqaddam.
Di samping itu ada juga keturunan Barakat lain dari Waliyullah Barakat bin Ahmad asy-Syatiri.
Pemberian gelar ini, dikarenakan datuk mereka mengharapkan berkah dan kebaikan dari Allah , maka banyak anak cucu beliau yang menjadi auliya'.
Waliyullah Syech bin Ali Barakat wafat di Tarim tahun 813 hijriyah.

Aal-BARUM

Barum adalah gelar yang dinisbahkan kepada keturunan waliyullah Hasan bin Muhammad bin Alwi bin Abdullah bin Ali bin Abdullah bin Alwi bin Muhammad al-Faqih al-Muqaddam.
Dinamakan dengan 'Barum' karena beliau diberi isyarat untuk pergi ke dusun Barum dan menetap serta menjadi sesepuh di sana disebabkan keberkahan ilmu dan kemuliaan beliau. Dusun Barum berjarak kira-kira 20 km dari kota Mukalla Hadramaut.
Waliyullah Hasan Barum dikarunia empat orang anak laki bernama: Abdurahman, Umar, Ali dan Ahmad.
Waliyullah Hasan Barum wafat di kota Tarim tahun 927 H.

Aal-BASRI

Beliau adalah waliyullah Ismail (Basri) bin Ubaidillah bin Ahmad bin Isa al-Muhajir.
Basri adalah anak kedua dari Ubaidillah bin Ahmad bin Isa. Anak pertama bernama Alwi, beliau kakek dari keluarga Ba'alawi, dan anak yang ketiga bernama Jadid.
Dinamakan Basri diambil dari nama kota yaitu Basrah, yang kemudian beliau hijrah bersama keluarga dan kakeknya al-Imam Ahmad bin Isa al-Muhajir ke negeri Hadramaut. Gelar ini menjadi gelar beberapa keluarga Alawiyin yang datuknya bernama Basri dan disebut mereka itu dengan al-Bin Basri.
Keturunan Basri terputus pada awal abad ke enam hijriyah.

Aal-BABATHINAH

Yang pertama kali bergelar 'Babathinah' ialah waliyullah Abdurahman bin Ahmad bin Alwi bin Ahmad bin Abdurahman bin Alwi Amu al-Faqih.
Beliau adalah pendiri masjid Babathinah di Tarim dan mempunyai sebuah perkebunan yang subur dan dinamakan Babathinah.
Waliyullah Abdurahman bin Ahmad Babathinah dikarunia 4 orang anak, yaitu: Ahmad Chadijah, Umar Ahmar al-Uyun, Ali al-Shonhazi dan Muhammad Maghfun.

Aal-ALBAYTI

Gelar al-Bayti dinisbahkan ke Baiti Maslamah sebuah desa yang berjarak sepuluh kilo meter dari Tarim. Gelar tersebut disandang oleh:
Waliyullah Ali bin Alwi bin Ali bin Abu Bakar al-Facher. Beliau dilahirkan di Bait al-Maslamah. Dikaruniai seorang anak lelaki yang bernama Muhammad, yang menurunkan keturunannya. Waliyullah Ali al-Bayti wafat di Bait Aa-Maslamah pada tahun 915 H.
Waliyullah Abu Bakar bin Ibrahim bin al-Imam Abdurrahman Assegaf dilahirkan di kota Tarim. Dikaruniai 3 orang anak lelaki bernama: Ibrahim, Ahmad dan Ismail. Waliyullah Abu Bakar al-Bayti wafat tahun 905 H di kota Tarim.

Aal-ALBIEDH

Keluarga al-Biedh bernisbat kepada datuk mereka waliyullah Ahmad bin Abdurahman bin Husein bin Ali bin Muhammad bin Ahmad bin Muhammad al-Faqih al-Muqaddam.
Beliau dijuluki gelar ini karena beliau seorang yang menekuni puasa hari-hari putih, yaitu puasa pada hari ketiga belas, keempat belas dan kelima belas pada setiap bulan Qamariyah. Puasa tersebut beliau lakukan sebagai ittiba' terhadap Rasulullah saw.
Waliyullah Ahmad bin Abdurhamnan Al-Biedh dikarunia dua orang anak laki, bernama: Abdurahman dan Makhrus.
Waliyullah Ahmad bin Abdurahman al-Biedh wafat di Syihir pada tahun 945 hijriyah.

Aal-BABARIK

Beliau adalah waliyullah Ahmad Babarik bin Abdurrahman bin Muhammad bin Abdullah bin Alwi bin Muhammad al-Faqih al-Muqaddam.
Waliyullah Umar Babarik dilahirkan di kota Tarim. Dikarunia 3 orang anak lelaki yaitu: Hasan, Ali dan Umar. Sedangkan yang melanjutkan keturunan beliau adalah Umar di Surat, India.
Waliyullah Ahmad Babarik wafat di kota Tarim.

AL-TUROBI

Beliau adalah waliyullah Hasan bin Ali bin Muhammad al-Faqih al-Muqaddam.
Diberi gelar al-Turobi , dikarenakan beliau seorang yang sangat tawadhu' dan mengumpamakan dirinya dengan tanah.
Waliyullah Hasan Atturobi bin Ali mempunyai seorang anak bernama Muhammad Asadullah.

Aal-BAJAHDAB

Mereka adalah keturunan waliyullah Ali Jahdab bin Abdurahman bin Muhammad bin Abdullah Ba'alawi bin Alwi bin Muhammad al-Faqih al-Muqaddam.
Sebab diberi gelar dengan 'Bajahdab', karena beliau tinggal di desa Jahadabah , Yaman.
Waliyullah Ali Jahdab bin Abdurahman dikaruniai 2 orang anak laki: Abud dan Muhammad al-Mualim. Muhammad al-Mualim mempunyai anak bernama Alwi. Salah satu keturunannya ada yang menjadi pemimpin keluarga Alawiyin (Naqib al-Alawi) yaitu Waliyullah Ahmad bin Alwi Bajahdab. Beliau wafat di Tarim tahun 973 hijriyah.

JADID

Yang pertama kali diberi gelar "Jadid” ialah waliyullah Jadid bin Ubaidillah bin Ahmad bin Isa al-Muhajir.
Beliau adalah anak ketiga dari Ubaidillah bin Ahmad bin Isa al-Muhajir.
Dinamakan " Jadid ” karena keluarganya yang dipimpin oleh al-Muhajir Ahmad bin Isa hijrah dari Basrah ke tempat yang baru bernama Hadramaut.
Keturunan Jadid terputus pada awal abad keenam hijriyah.

Aal-ALDJUFRI

Yang pertama kali dijuluki "al-Djufri " ialah waliyullah Abu Bakar bin Muhammad bin Ali bin Muhammad bin Ahmad bin Muhammad al-Faqih al-Muqaddam.
Gelar yang disandang karena beliau dipanggil oleh datuk dari ibunya Waliyullah Abdurahman Assegaf bin Muhammad Maula Dawilah dengan sebutan Djufratiy yang berarti anak kecil kesayangan yang berbadan gemuk dan kekar. Dan setelah dewasa ia menjadi seorang ahli dalam ilmu Jafar, suatu rumus-rumus yang menggunakan huruf dan angka yang ditulis di atas kulit Jafar (anak kambing). Pada suatu hari beliau kehilangan kitabnya yang berisi ilmu Jafar, beliau mencarinya sambil berkata Jafri (maksudnya kitab ilmu Jafarku). Maka mulai sejak itu beliau disebut al-Jufri.
Waliyullah Abu Bakar bin Muhammad al-Djufri dilahirkan di kota Tarim, dikaruniai lima orang anak lelaki yaitu: Muhammad, Abdullah, Ahmad, Alwi al-Chawas dan Umar. Dari kelima anak yang terputus keturunannya adalah Muhammad dan Abdullah, sedangkan dari ketiga anaknya yang lain menurunkan keturunan al-Djufri seperti: al-Kaf, al-Shafi dan al-Bahar.
Waliyullah Abu Bakar bin Muhammad al-Djufri wafat di kota Tarim pada tahun 860 Hijriyah.

DJAMALULLAIL

Djamalullail adalah gelar untuk waliyullah al-Imam Muhammad bin Ahmad bin Abdullah bin Alwi bin Muhammad al-Faqih al-Muqaddam (keturunan terputus) dan al-Imam Muhammad bin Hasan al-Mua'alim bin Muhammad Asadilah bin Hasan Atturabi.
Gelar yang disandang karena mereka selalu mengisi malam-malam harinya dengan ibadah, baik shalat tahajud dan shalat-shalat sunnah lainnya serta membaca Alquran, shalawat dan doa serta dzikir lainnya yang dilakukan selama hidupnya. Karena itu beliau digelari dengan Djamalullail.
Waliyullah Muhammad Djamalullail dilahirkan di kota Tarim, dikarunia 2 orang anak lelaki:
Abdullah bin Muhammad Djamalullail. Dari kedua cucunya Abdullah bin Ahmad dan Muhammad bin Ahmad menurunkan al-Djamalullail yang berada di Hadramaut, Makkah dan India serta sebagian di Aceh dan pulau Jawa.
Ali bin Muhammad Djamalullail, menurunkan keturunan leluhur al-Qadri, al-Asiry, al-Baharun dan al-Junaid.
Waliyullah Muhammad Djamalullail wafat di kota Tarim pada tahun 845 H.

Aal-BIN JINDAN

Mereka adalah suatu puak dari keluarga al-syaikh Abu Bakar bin Salim, yang dinisbahkan kepada keturunan waliyullah Ali bin Muhammad bin Husein bin Syaikh Abi Bakar bin Salim.
Jindan adalah gelar untuk kakek mereka, dan mereka masing-masing menamakan dengan Bin Jindan yaitu anak cucu dari Syaikh Abi Bakar bin Salim.
Waliyullah Ali bin Muhammad bin Husien bin Syaikh Abi Bakar wafat di Inat sekitar tahun 1200 H.

AL-JANNAH

Yang pertama kali dijuluki 'al-Jannah' ialah waliyullah Muhammad bin Hasan bin Abdullah bin Harun bin Hasan bin Ali bin Muhammad Jamalullail.
Gelar yang disandang, dikarenakan beliau seorang terkenal dengan ilmu, kemuliaan, dan ibadahnya. Menurut shohib al-Masyra' dinamakan al-Jannah karena beliau banyak berdoa dan sangat merindukan surga. Dan Allah mengabulkan doa dan kerinduannya tersebut.

Aal-ALDJUNAID

Al-Junaid ialah gelar yang dinisbahkan kepada keturunan waliyullah Abu Bakar bin Umar bin Abdullah bin Harun bin Hasan bin Ali bin Muhammad Jamallullail bin Hasan al-mu'alim Muhammad Asadillah bin Hasan Atturabi. Dinamakan Djunaid dengan maksud tabarukkan agar kelak menjadi waliyullah seperti waliyullah yang bernama Djunaid bin Muhammad seorang Sayid Atthaifah al-sufiyah yang terkenal.
Waliyullah Abu Bakar al-Junaid dilahirkan di kota Tarim tahun 1053 H. Dikaruniai 5 orang anak dan hanya 1 anak yang meneruskan keturunannya yaitu Ali bin Abu Bakar al-Junaid. Keturunannya ada di kota Tarim dan Singapore.
Waliyullah Abu Bakar al-Junaid wafat di kota Tarim.

Aal-ALDJUNAID AL-ACHDOR

Mereka adalah keturunan waliyullah Al-Djunaid al-Achdor bin Ahmad bin Muhammad bin Ahmad Qasam bin Alwi al-Syaibah bin Abdullah bin Ali bin Abdullah bin Alwi bin Muhammad al-Faqih al-Muqaddam.
Gelar yang disandang karena kakek beliau memberi nama Djunaid dengan maksud tabarukkan agar kelak menjadi waliyullah seperti waliyullah yang bernama Djunaid bin Muhammad seorang Sufiyah yang terkenal.
Waliyullah Djunaid Achdor dilahirkan di Gasam , dikarunia 5 orang anak lelaki, 3 diantara meneruskan keturunannya yaitu: Syaich, Ahmad dan Muthahhar.
Waliyullah Djunaid Achdor wafat di gasam pada tahun 1032 H.

Aal-ALJAILANI

Mereka adalah keturunan waliyullah Muhammad bin Ahmad bin Alwi al-Syaibah bin Abdullah bin Ali bin Abdullah Ba'alawi.
Diberi gelar 'Jailani' , sebagai tabarukkan kepada Syaikh Abdul Qadir Jailani. Jailani adalah suatu tempat yang berada di negeri Parsi.
Waliyullah Muhammad bin Ahmad mempunyai anak bernama Syech, Hadar, Ahmad dan Abdurahman (kakek dari keluarga al-Junaid al-Achdor).

Aal-ALHAMID

Mereka keturunan dari waliyullah al-Hamid bin al-Syaikh Abi Bakar bin Salim.
Gelar al-Hamid disandang karena ayahnya menginginkan anaknya menjadi orang yang bersyukur kepada Allah swt dengan selalu memuji-Nya.
Waliyullah Hamid al-Hamid dilahirkan di kota Inat, beliau dikaruniai 8 orang anak lelaki dan yang meneruskan keturunan hanya 5 orang, yaitu:
1. Muthahhar, keturunannya adalah al-Aqil Muthahhar.
2. Umar, keturunannya adalah al-Salim bin Umar ( sebagian besar di Indonesia )
3. Abdullah
4. Abu Bakar
5. Alwi
Waliyullah al-Hamid bin Syaich Abu Bakar wafat di Inat tahun 1030 Hijriyah.

Aal-ALHABSYI

Mereka adalah keturunan waliyullah Abu Bakar bin Ali bin Ahmad bin Muhammad Assadilah bin Hasan Atturabi bin Ali bin Muhammad al-Faqih Muqaddam.
Gelar yang disandang dikarena beliau sering bepergian ke kota Habasyah di Afrika dan beliau pernah tinggal di sana selama 20 tahun untuk da'wah Islam.
Waliyullah Abi Bakar bin Ali al-Habsyi lahir di kota Tarim, dikarunia seorang anak laki yang bernama Alwi. Alwi mempunyai 5 orang anak lelaki, 2 diantaranya menurunkan keturunannya, yaitu:
1. Ali , keturunannya berada di kota Madinah.
2. Muhammad al-Ashgor, mempunyai 4 orang anak:
a. Umar (keturunannya terputus di Tarim)
b. Ali (keturunannya sedikit di Makkah)
c. Abdurrahman, keturunannya berada di Palembang, Jambi , Siak dan Aceh.
d. Ahmad Shahib Syi'ib, mempunyai 9 orang anak:
1. Al-Hasan, keturunannya disebut al-Habsyi al-Rausyan.
2. Hadi, mempunyai dua orang anak bernama:
a. Idrus, meneruskan keturunan al-Habsyi al-Syabsyabah (diantara keturunannya adalah waliyullah al-Habib Nuh bin Muhammad bin Ahmad al-Habsyi di Singapura).
b. Abdurahman, adalah datuk waliyullah al-Habib Ali al-Habsyi Kwitang (silsilah beliau lihat di Biografi Habib Ali bin Abdurahman al-Habsyi).
3. Alwi, keturunannya disebut al-Ahmad bin Zain adalah datuk waliyullah al-Habib Muhammad bin Idrus al-Habsyi (Ampel Gubbah Surabaya)
4. Husein, mempunyai dua orang anak yaitu:
a. Shodiq (keturunannya di Hadramaut, Surabaya dan Malaka)
b. Muhammad, salah satu keturunannya adalah waliyullah al-Habib Alwi bin Ali bin Muhammad al-Habsyi (Masjid Ar-Riyadh, Solo)
5. Idrus (keturunannya di Yafi' dan India)
6. Hasyim (keturunannya di
7. Syaich (keturunannya di Lihij dan Dasinah)
8. Muhammad
9. Umar.
Waliyullah Abu Bakar bin Ali bin Ahmad wafat di kota Tarim tahun 857 H.

Aal-ALHADDAD

Yang pertama kali dijuluki al-Haddad ialah waliyullah Ahmad bin Abi Bakar bin Ahmad Masrafah bin Muhammad bin Abdullah bin Ahmad bin Abdurrahman bin Alwi Ammu al-Faqih.
Al-Habib Ahmad bin Abi Bakar adalah seorang waliyullah yang menyembunyikan kewaliannya. Beliau digelari dengan al-Haddad karena sering bergaul dengan seorang pandai besi dan sering berada di tempat penempaan besi. Selain beliau ada pula seseorang yang bernama Ahmad dari golongan Alawiyin tang terkenal dan mempunyai banyak pengikut dan menyebut al-Habib Ahmad bin Abi Bakar dengan al-Haddad (pandai besi). al-Habib Ahmad bin Abi Bakar menjawab sebutan tersebut dengan memperlihatkan keramatnya, sehingga orang-orang mengetahui bahwa beliau adalah seorang waliyullah yang mempunyai derajat tinggi dan hati mereka tertempa dengan kejadian tersebut. Maka mereka menyebut al-Habib Ahmad bin Abi Bakar dengan al-Haddad (penempa kalbu).
Waliyullah Ahmad al-Haddad dilahirkan di kota Tarim, dikaruniai seorang anak lelaki yang bernama Alwi. Keturunan yang ke 31 dari Rasulullah saw ialah waliyullah al-Habib Abdullah bin Alwi al-Haddad (Sohibur Ratib). al-Habib Abdullah bin Alwi al-Haddad bersaudara dengan al-Habib Umar bin Alwi al-Haddad. Keduanya tidak pernah datang ke Indonesia. Keturunan al-Habib Abdullah bin Alwi al-Haddad banyak berada di Jawa Timur, sedangkan keturunan al-Habib Umar bin Alwi al-Haddad sebagian besar berada di Pasar Minggu (termasuk al-Habib Alwi bin Thahir al-Haddad)
Waliyullah Ahmad bin Abi Bakar wafat di kota Tarim tahun 870 H.

Aal-BAHASAN (BANAHSAN)

Gelar Bahasan disandang oleh:
1. Keluarga Bahasan (Banahsan) As-Sakran , yaitu: Hasan bin Ali bin Abi Bakar al-Sakran (Kerajaan Siak yang dikenal dengan keluarga Bin Shahab)
2. Keluarga Bahasan Faqis, yaitu: Hasan bin Abdullah bin Abdurahman Assaqqaf.
3. Keluarga Bahasan al-Thowil, yaitu: Hasan bin Muhammad bin Abdullah bin Ahmad bin Abdurahman bin Alwi (Ammu al-Faqih)
4. Keluarga Bahasan Jamalullail, yaitu: Muhammad bin Abdullah bin Muhammad.

Aal-BAHUSEIN

Mereka adalah keturunan waliyullah Ahmad bin Husein bin al-Imam Abdurahman Assegaf dan Ali bin Husein bin Ali bin Alwi bin Muhammad Maula al-Dawilah.
Waliyullah Husein bin al-Imam Abdurahman al-saqqaf dilahirkan di Tarim, dikaruniai enam orang anak lelaki, dan yang meneruskan keturunannya tiga orang:
1. Abdurahman, menurunkan keturunan leluhur al-Bahsein dan al-Musawa
2. Ahmad, yang menurunkan keturunan leluhur Ahmad bin Husein al-Karbiy
3. Ali Makki, menurunkan keturunan leluhur Muhammad al-Zaitun, al-Bahusein.
Waliyullah Husein al-Bahsein wafat di Tarim tahun 896 H.

Aal-ALHIYYED

Mereka adalah keturunan dari waliyullah Abu Bakar bin Hasan bin Husein bin Syaich Abu Bakar bin Salim.
Mereka diberi gelar al-Hiyyed karena datuk mereka bertempat tinggal di suatu tempat yang bernama Hiyyed di lereng gunung di Inat.
Waliyullah Abdullah bin Abu Bakar lahir di Inat, dikaruniai seorang anak laki bernama Abu Bakar yang menurunkan keturunan al-Hiyyed di Indonesia.
Beliau wafat di kota Inat tahun 1169 H.

Aal-CHIRRID

Mereka adalah keturunan waliyullah Alwi bin Muhammad Hamidan bin Abdurrahman bin Muhammad bin Abdullah bin Alwi bin Muhammad al-Faqih Muqaddam.
Dinamakan al-Chirrid karena beliau sering beribadah di Gua Chirrid di pegunungan Aqrun di Tarim. Ibadah yang dilakukannya antara lain bertafakur dengan akal dan hati serta ibadah jasad seperti yang dilakukan Rasul di gua Hira.
Waliyullah Alwi al-Chirrid wafat di Tarim tahun 808 H.

Aal-CHANEMAN

Mereka adalah keturunan yang dinisbahkan kepada waliyullah Ahmad bin Umar bin Muhammad bin Ahmad bin Abu Bakar al-Wara' bin Ahmad bin Muhammad al-Faqih Muqaddam.
Gelar al-Chaneman berasal dari kata Chanam, sebagian penduduk Hadramaut menisbahkan kata tersebut kepada jenis buah kurma yaitu kurma chanam. Akan tetapi tidak diketahui apakah hal tersebut berhubungan dengan gelar di atas.
Waliyullah Ahmad bin Umar Chaneman dikarunia dua orang anak laki bernama: Umar dan Abdullah.
Waliyullah Ahmad bin Umar Chaneman wafat tahun 893 H di kota Tarim.

Aal-CHAMUR

Al-Chamur ialah gelar yang dinisbahkan kepada keturunan waliyullah Saleh bin Hasan bin Husein bin Syaikh Abi Bakar bin Salim
Gelar tersebut disandang karena datuk mereka bermukim di Chamur, suatu tempat yang terkenal di sebelah Barat Syibam.

Aal-MAULA CHAILAH

Yang pertama kali diberi gelar Maula-Chailah ialah waliyullah Abdurahman bin Abdullah bin Alwi bin Muhammad Maula Dawilah.
Gelar tersebut disandang karena beliau bermukim di daerah pegunungan Chailah yang terkenal di sebelah Barat kota Tarim. Chailah berasal dari kata Khala yang berarti memelihara. Untuk selanjutnya kata tersebut diberikan kepada orang-orang yang memelihara ibadahnya.
Waliyullah Abdurahman Maula Chailah wafat di Tarim tahun 914 Hijriyah.

Aal-ALCHUUN

Yang pertama kali dijuluki al-Chuun ialah waliyullah Alwi bin Abdurahman bin Muhammad bin Abdullah Ba'alawi.
Beliau diberi gelar al-Chuun, dikarenakan beliau tinggal di desa al-Chuun yang terletak sebelah Timur Hadramaut.
Keturunan waliyullah Alwi bin Abdurahman terputus pada abad kedua belas hijriyah.

MAULA AL-DAWILAH

Beliau adalah waliyullah Muhammad Maula al-Dawilah bin Ali bin Alwi bin Muhammad al-Faqih al-Muqaddam.
Diberi gelar Maula al-Dawilah karena beliau bermukim di dusun Yabhar dekat makam nabi Hud as, di bagian Timur Hadramaut. Waliyullah Muhammad Maula Dawilah bersama para pengikutnya membangun rumah di dusun tersebut. Maka dusun Yabhar yang awalnya sepi menjadi ramai. Dusun itu disebut al-Dawilah yang artinya dusun lama. Waliyullah Muhammad digelari Maula al-Dawilah artinya pemimpin dusun Dawilah. Puteranya yang bernama Abdurahman Assaqqaf membangun pula sebuah kota di dekatnya yang dinamakan Yabhar. Desa yang pertama disebut Yabhar lama sedangkan desa yang kedua disebut Yabhar baru. Selanjutnya nama Maula al-Dawilah dikhususkan untuk anak Muhammad Maula al-Dawilah selain Syaikh Abdurahman Assaqqaf yang mempunyai gelar khusus.
Waliyullah Ahmad Maula al-Dawilah dilahirkan di kota Yabhar. Dikaruniai 4 orang anak lelaki , yaitu Abdurahman Assaqqaf, Ali, Abdullah dan Alwi.
Waliyullah Muhammad Maula al-Dawilah wafat di Tarim tahun 765 Hijriyah.

Aal AL-DZI'BU

Yang pertama kali dijuluki al-Dzi'bu ialah waliyullah Muhammad bin Salim bin Ahmad bin Husein bin Syaikh Abu Bakar bin Salim.
Gelar yang disandang, dikarenakan beliau berkelahi dengan seekor srigala yang menyerang sekumpulan kambing mereka dan beliau berhasil menangkap Srigala itu. Karena itulah beliau disebut al-Dzi'bu.

Aal-BARAQBAH

Mereka adalah keturunan waliyullah Umar bin Ahmad bin Muhammad bin Abdullah bin Alwi bin Muhammad al-Faqih al-Muqaddam.
Mengenai gelar ini tidak didapat keterangan yang jelas, apakah beliau mempunyai pundak yang kuat , yang dalam bahasa Arab disebut Raqbah atau berhubungan dengan suatu tempat yang terdapat sumur dan pohon kurma dekat kota Tarim yang disebut 'Baraqbah'.
Waliyullah Umar Baraqbah dilahirkan di Tarim, dikaruniai seorang anak lelaki bernama Abdurahman.Beliau wafat tahun 895 H.

Aal-ALRUCHAILAH

Yang pertama kali dijuluki al-Ruchailah ialah waliyullah Muhammad bin Umar bin Ali bin Umar bin Ahmad bin Muhammad al-Faqih Muqaddam.
Gelar yang disandang karena beliau seorang yang tidak memiliki apa-apa, hanya mempunyai seekor anak kambing yang dalam bahasa Arabnya al-Rachilah. Kambing kesayangannya itu dipotong ketika ia menjamu makan tamunya. Tatkala beliau mengetahui bahwa hidangan itu habis tidak tersisa untuk keluarganya, beliau memohon kepada Allah swt agar kambing itu dihidupkan kembali sebagai rezeki untuknya. Allah mengabulkan doanya dengan dihidupkan kembali kambingnya.
Waliyullah Muhammad al-Rachilah dikarunia 5 orang anak lelaki yaitu: Hasan, Ali, Husin, Alwi , Salim. Yang meneruskan keturunannya bernama Salim yang biasa dikenal dengan al-Ruchailah Ba'Umar melalui anaknya yang bernama Umar.Umar mempunyai 2 anak yaitu Muhammad Ba'Umar (keturunannya di Indonesia) dan Ali Ba'Umar (keturunannya di Zailah Afrika).
Waliyullah Muhammad al-Ruchailah wafat di kota Tarim.

Aal-ALZAHIR

Mereka adalah keturunan waliyullah al-Zahir bin Husin bin Muhammad bin Ali bin Muhammad bin Syahabuddin al-Ashgor bin Abdurahman bin Syahabuddin al-Akbar. Dan gelar al-Zahir dinisbatkan juga kepada keturunan waliyullah Abdullah bin Muhammad al-Masyhur bin Ahmad bin Muhammad bin Syahabuddin al-Ashgor. Kedua keluarga tersebut bertemu pada al-Habib Muhammad bin Ahmad Syahabuddin al-Ashgor.
Gelar yang disandang karena cahaya wajah beliau yang indah berseri, indah dan jernih apalagi ketika beliau sedang berada di majlis memberikan pelajaran/nasehat.
Waliyullah Muhammad bin Ahmad al-Zahir lahir di kota Tarim, dikarunia 2 orang anak lelaki, satu diantaranya bernama Abdullah yang menurunkan keturunan al-Zahir yang berada di Indonesia.
Waliyullah Muhammad bin Ahmad al-Zahir wafat di Tarim tahun 1203

Aal-BASAKUTAH

Mereka adalah keturunan waliyullah Hasan bin Ahmad Masrafah bin Muhammad bin Abdullah bin Ahmad bin Abdurahman bin Alwi Ammu al-Faqih.
Diberi gelar Hasan Sakutah atau dengan Basakutah, dikarenakan beliau seorang laki-laki yang banyak diam dan sedikit berbicara, dan jika berbicara hanya mengeluarkan kata-kata yang baik saja.

Aal-ALSAQQAF

Yang pertama kali digelari al-saqqaf ialah waliyullah al-Muqaddam al-Tsani al-Imam Abdurahman bin Muhammad Maula Dawilah bin Ali bin Alwi bin Muhammad al-Faqih al-Muqaddam.
Gelar yang disandang karena beliau sebagai pengayom para wali pada zamannya agar terhindar dari perkara bid'ah. Para ulama ahli hakikat dan para wali yang bijaksana menamakan beliau 'al-Saqqaf', karena beliau menutup hal keadaannya dari penduduk di zamannya. Beliau sangat benci dengan kesohoran. Ketinggian derajat beliau dari para wali di zamannya bagaikan kedudukan atap bagi rumah.
Beliau dilahirkan di kota Tarim, dikarunia 13 anak lelaki, dan 7 orang meneruskan keturunannya: Abu Bakar As-Sakran, Alwi, Ali, Aqil, Abdullah, Husein dan Ibrahim.
Waliyullah Abdurahman Al-saqqaf wafat di Tarim tahun 819 H.

AL-SAKRAN

Beliau adalah Abu Bakar bin Abdurahman al-saqqaf bin Muhammad Maula al-Dawilah.
Digelari dengan al-sakran , karena beliau mabuk dengan cintanya kepada Allah swt.
Waliyullah Abu Bakar al-sakran dikarunia lima orang anak laki, yaitu: Muhammad al-akbar, Hasan, Abdullah, Ali, dan Ahmad. Dari ketiga anaknya yang bernama Abdullah, Ali dan Ahmad menurunkan keluarga al-Aydrus, Syahabuddin, al-Masyhur, al-Hadi, al-Wahath, al-Munawar.
Waliyullah Abu bakar al-sakran wafat di Tarim tahun 821 Hijriyah.

Aal-BIN SUMAITH

Yang pertama kali digelari al-Bin Sumaith ialah waliyullah Muhammad bin Ali bin Abdurahman bin Ahmad bin Alwi bin Ahmad bin Abdurahman bin Alwi Ammu al- Faqih.
Gelar yang disandang karena di masa kecilnya ia dipakaikan oleh ibunya sebuah kalung dari benang yang biasa dipakai oleh anak kecil dan biasa disebut Sumaith. Ketika sedang berjalan kalung itu jatuh dan sang ibu enggan berbalik untuk mengambilnya. Ibu dan puteranya berjalan terus dan membiarkan kalung itu tertinggal, sedangkan orang-orang yang menyaksikan kejadian tersebut mengira sang ibu tidak mengetahui kalau kalung anaknya jatuh dan berusaha memberitahu dengan berteriak Sumaith. Maka semenjak itu anak tersebut dijuluki Semith.
Waliyullah Muhammad Bin Semith lahir di kota Tarim, dikaruniai seorang anak laki bernama Abdullah yang menurunkan keturunannya di Tarim, Syibam, Taribah, Goroh (Hadramaut), Zanzibar dan Indonesia (Kalimantan, Manado, Sumba, Denpasar, Madura, Jakarta, Surabaya, Semarang, Pekalongan)
Waliyullah Muhammad Bin Semith wafat di Tarim tahun 950 Hijriyah.

Aal-BIN SUMAITHAN

Yang pertama kali dijuluki al-Bin Semithan ialah waliyullah Ahmad bin Muhammad bin Alwi bin Muhammad Maula Dawilah.
Gelar yang disandang, dikarenakan beliau seorang lelaki yang giat, mempunyai tumbuh kecil dan bertempat tinggal di suatu Badiyah Hadromiyah yang penduduknya merupakan orang yang giat bekerja.

Aal-ALSIRY

Mereka adalah keturunan walyullah Ali bin Umar bin Abdullah bin Harun bin Hasan bin Ali bin Muhammad Jamalullail bin Hasan al-Mualim bin Muhammad Asadillah bin Hasan Atturabi bin Ali bin Muhammad al-Faqih al-Muqaddam.
Beliau diberi gelar dengan al-Sirry sebagi tabarruk kepada seorang waliyullah yang termasyhur yaitu al-Syaich al-Seri al-Saqthi.
Waliyullah Ali al-Seri lahir di kota Tarim, dikarunia 3 orang anak lelaki: Ahmad, Aqil dan Umar. Waliyullah Ali al-Seri wafat di kota Tarim tahun 1053 H.

Aal-BIN SAHAL

Mereka bernasab kepada waliyullah Sahal bin Ahmad bin Abdullah bin Muhammad Jamalullail bin Hasan bin Muhammad Asadillah bin Hasan Atturabi. Beliau dinamakan Sahal karena bertabarruk kepada al-Sayid Sahal al-Tastari.
Waliyullah Sahal bin Ahmad lahir di kota Tarim, dikaruniai 3 anak lelaki, 2 diantaranya meneruskan keturunan belia yaitu Alwi dan Ahmad.
Waliyullah Sahil bin Ahmad wafat di Tarim tahun 973 H.

Aal-ALSYATHRI

Mereka adalah keturunan waliyullah Alwi bin Ali bin Ahmad bin Muhammad Asadilah bin Hasan Atturabi bin Ali bin Muhammad al-Faqih al-Muqaddam.
Gelar yang disandang karena beliau selalu membagi dua harta yang dimilikinya kepada saudara kandungnya al-Habib Abubakar al-Habsyi. Membagi dua dalam bahasa Arabnya adalah Syathara.
Waliyullah Alwi al-syathri lahir di Tarim, dikarunia 5 orang anak lelaki, dan 2 diantaranya yang meneruskan keturunan, yaitu: Muhammad dan Umar.
Waliyullah Alwi Al-syathri wafat di Tarim tahun 843 H.

Aal-SYABSYABAH

Mereka adalah keturunan waliyullah Idrus bin al-Hadi bin Ahmad Shahib Syi'ib bin Muhammad al-Ashgor bin Alwi bin Abi Bakar al-Habsyi.
Syabsyabah adalah nama dari satu jenis pohon kurma yang istimewa dan masyarakat lebih suka kalau kurma itu dalam keadaan mengkal (setengah matang). al-Habib Idrus bin al-Hadi dinamakan Syabsyabah karena beliau mempunyai pohon kurma tersebut sebagai hasil kerja keras orang tua mereka.

Aal-ALSYILI

Mereka adalah keturunan waliyullah Abdullah bin Abu Bakar bin Alwi al-Syaibah bin Abdullah bin Ali bin Abdullah Ba'alawi.
Datuk mereka digelari dengan 'Syillih' sebagai fiil amer dengan makna 'bawalah atau ambillah'. Adapun gelar ini tidak di dapat keterangan yang jelas.
WaliyullahAbdullah bin Abi Bakar al-Syili dikarunia tiga orang anak laki bernama: Abubakar, Ahmad dan Aqil. Dari anaknya yang bernama Abu bakar dikarunia cicit yang bernama Muhammad bin Abi bakar bin Ahmad bin Abibakar bin Abdullah al-Syili, penulis kitab al-Masra' al-Rawi yang berisi biografi tokoh ulama Alawiyin.

Aal-BASYUMAILAH

Mereka bernasab kepada waliyullah Abu Bakar bin Abdullah bin Abdurahman Assegaf bin Muhammad Maula Dawilah.
Pada zamannya tersebar berita bahwa beliau telah mendapatkan karomah dari Allah swt. Beliau adalah seorang yang hidupnya selalu dalam kesulitan dan hidup sebagai seorang zahid. Dalam perjalanannya menuju Mekkah untuk menunaikan ibadah haji, beliau ketinggalan kapal yang akan dinaikinya, timbullah rasa sedih dan sesal pada dirinya karena khawatir tidak dapat menunaikan ibadah haji, sedangkan yang ada pada dirinya hanya sehelai selimut (syamilah), lalu waliyullah Abu Bakar menghamparkan syamilahnya di tepi pantai lalu naik ke atasnya, maka meluncurlah selimut itu dengan cepat hingga mendahului kapal yang meninggalkannya. Kejadian tersebut disaksikan oleh orang ramai, maka sejak itu beliau dinamakan dengan Basyumailah.
Waliyullah Abu Bakar Basymilah lahir di kota Tarim, dikarunia 2 orang anak lelaki yaitu Ahmad dan Abdullah. Beliau wafat di kota Tarim tahun 843 H

Aal-SYAHABUDDIN

Yang pertama kali dijuluki Syahabuddin ialah waliyullah Ahmad bin Abdurahman bin Ahmad Syahabuddin bin Abdurahman bin al-Syaich Ali bin Abu Bakar As-sakran bin Abdurahman Assegaf.
Syahabuddin adalah gelar yang dinisbahkan kepada para ulama yang agung dan terkenal dengan keluasan ilmu mereka dan banyak mempunyai karya tulisan pada zamannya. al-Habib Ahmad Syahabuddin al-Akbar dan cucu beliau al-Habib Ahmad Syahabuddin al-Ashgor adalah dua orang waliyullah yang terkenal dan pantas menggunakan gelar tersebut, maka keduanya diberi gelar Syahabuddin. Hal itu disebabkan keagungan dan keluasan ilmu mereka. Bagi setiap anak cucu al-Habib Syahabuddin al-Ashgor disebut Bin Syahab kecuali beberapa keluarga mereka yang dikenal dengan gelar lain seperti al-Masyhur dan al-Zahir. Adapun Aal-alhadi, mereka adalah anak cucu pamannya yaitu al-Habib Muhammad al-Hadi bin Ahmad Syahabuddin al-Akbar dan anak cucu saudaranya al-Hadi bin Abdurahman bin Ahmad Syahabuddin al-Akbar. Waliyullah Syahabudin al-Akbar lahir di kota Tarim, dikarunia 3 orang anak lelaki
1. Muhammad al-Hadi, keturunannya al-Bin Syahab al-Hadi. Cucunya bernama:
a. Ali bin Idrus bin Muhammad al-Hadi. Keturunannya berada di Palembang, Jakarta dan Pekalongan.
b. Syihabuddin bin Idrus bin Muhammad al-Hadi, keturunannya berada di Malaysia dan Singapura.
2. Umar, keturunannya al-Syahab al-Mahjub (Palembang)
3. Abdurahman al-Qadi bin Syahabudin al-Akbar, dikarunia 4 orang anak lelaki:
a. Abu Bakar, keturunannya di Zhufar, Amman, Palembang.
b. Abdullah, keturunannya di Malabar.
c. Muhammad al-Hadi bin Abdurahman al-Qadhi, keturunannya disebut al-Hadi.
d. Syahabuddin bin Abdurahman al-Qadhi (Ahmad Syahabuddin al-Ashgor), keturunannya: al-Bin Husein, al-Bin Idrus, al-Bin Zain. Waliyullah Ahmad Syahabuddin al-Ashgor wafat di Tarim tahun 1036, keturunannya al-Masyhur dan al-Zahir.
Waliyullah Ahmad Syahabuddin al-Akbar wafat di Tarim tahun 946 Hijriyah.

Aal-BASYAIBAN

Mereka bernasab kepada waliyullah Abu Bakar bin Muhammad Asadillah bin Hasan Atturabi bin Ali bin Muhammad al-Faqih al-Muqaddam.
Syaiban berasal dari kata al-Syaibu yang artinya beruban. Beliau diberi gelar dengan al-syaiban karena berusia lanjut dan mempunyai rambut putih, hal tersebut menambah kebesaran dan kewibawaan beliau.
Waliyullah Abu Bakar Basyeban lahir di kota Tarim, dikarunia 2 orang anak lelaki, satu diantaranya yaitu: Ahmad Basyeban.
Waliyullah Abu Bakar Basyeban wafat di Tarim tahun 807 H.

Aal-SYAICH ABU BAKAR BIN SALIM

Yang pertama kali dijuluki al-Syaich Abu Bakar Bin Salim ialah waliyullah Abu Bakar bin Salim bin Abdullah bin Abdurahman bin Abdullah bin al-Imam Abdurahman Assegaf.
Gelar yang disandang karena beliau seorang guru besar dalam ilmu agama dan seorang pemimpin. Beliau adalah seorang sufi yang bergelar wali quthub.
Waliyullah Syaich Abu Bakar bin Salim lahir di kota Tarim pada tahun 919 H, dikaruniai 13 anak lelaki dan yang menurunkan keturunannya 9 orang anak, bernama: Husin, Hamid, Umar, Hasan, Ahmad, Soleh, Ali, Syaichon, Abdullah. Dari anak-anaknya tersebut diantaranya menurunkan keluarga al-Hamid, al-Muhdharm al-Khiyyid, al-Khamur, al-Haddar, Abu Futhaim, dan Bin Jindan.
Waliyullah Syaich Abu Bakar bin Salim wafat di kota Inat tahun 992 Hijriyah.

Aal-SYAICHON DAN Aal BIN SYAICHON

Keluarga Asy-Syaichon dan Bin Syaichon disandang oleh beberapa waliyullah, diantaranya:
1. Al-Bin Syaichon: Syaichon bin Muhammad bin Syaichon bin Muhammad bin Syaichon bin Husein bin Ahmad shohib Syi'ib bin Muhammad bin Alwi bin Abi Bakar al-Habsyi.
2. Al-Syaichon: Bin Aqil bin Salim (Saudara Syaikh Abu Bakar bin Salim)
3. Al-Syaichon: Bin Husein bin Syaikh Abu Bakar bin Salim
4. Al-Syaichon: Bin Abdullah Abud bin Ali bin Muhammad Maula Dawilah dari keluarga Ba'bud.
5. Al-Syaichon: Bin Ali bin Hasyim bin Syech bin Muhammad bin Hasyim (dari keluarga Bahasan).

SHAHIB AL-HAMRA'

Yang pertama kali dijuluki Shahib al-Hamra ialah waliyullah Umar bin Abdurahman bin Muhammad bin Ali bin Muhammad bin Ahmad bin Muhammad al-Faqih al-Muqaddam.
Gelar yang disandang , dikarenakan beliau tinggal di Hamra nama kota yang terkenal di Yaman.
Keturunan waliyullah Umar bin Abdurahman adalah keluarga Balghaits.

SHAHIB AL-HUTHOH

Yang pertama kali dijuluki Shahib al-Huthoh ialah waliyullah Ali bin Muhammad bin Abdullah bin al-Faqih Ahmad bin Abdurahman bin Alwi Ammu al-Faqih.
Gelar yang disandang, dikarenakan beliau tinggal di Huthoh daerah yang terletak sebelah Barat kota Tarim, Hadramaut.

SHAHIB AL-SYI'IB

Yang pertama kali dujuluki Shahib al-Syi'ib ialah waliyullah Ahmad bin Muhammad al-Asghor bin Alwi bin Abi Bakar al-Habsyi.
Gelar yang disandang, dikarenakan beliau dimakamkan di Syi'ib. Di tempat itu pula dimakamkan kakeknya al-Imam al-Muhajir Ahmad bin Isa. Daerah tersebut terletak diantara kota Tarim dan Seiwun.

SHAHIB QASAM

Yang pertama kali dijuluki Shahib Qasam ialah waliyullah Ahmad bin Alwi Syaibah bin Abdullah bin Ali bin Abdullah Ba'alawi.
Gelar yang disandang, dikarenakan beliau pindah dari Tarim ke Qasam. Qasam merupakan kota yang didirikan oleh al-Imam Ali Khali' Qasam bin Alwi bin Muhammad bin Alwi bin Ubaidillah bin Ahmad bin Isa. Di kota tersebut beliau menanam pohon kurma untuk mengingatkannya terhadap kota Qasam di Basrah yang merupakan milik kakeknya al-Muhajir Ahmad bin Isa.
Waliyullah Ahmad Qasam bin Alwi Syaibah dikarunia lima orang anak laki, bernama: Alwi, Husin, Abubakar, Abdurahman, Abdullah dan Muhammad (menurunkan keluarga al-Junaid al-Achdhor)

SHAHIB MARBATH

Yang pertama kali dijuluki Shahib Marbath ialah waliyullah Muhammad bin Ali bin Alwi bin Muhammad bin Alwi bin Ubaidillah bin Ahmad bin Isa al-Muhajir.
Gelar yang disandang, dikarenakan beliau tinggal di Marbath Zhufar, sebelumnya beliau tinggal di Tarim yang dinamakan dengan zhufar lama.

SHAHIB MARYAMAH

Yang pertama kali dijuluki Shahib Maryamah ialah waliyullah Ahmad bin Alwi bin Abdurahman Assaqqaf.
Gelar yang disandang , dikarenakan beliau tinggal di Maryamah suatu kota yang terletak dekat Seiwun.

Aal-BASUROH

Mereka adalah keturunan waliyullah Ahmad al-Mualim bin Hasan bin At-Thawil bin Muhammad bin Abdullah bin Ahmad al-Faqih bin Abdurahman bin Alwi Ammu al-Faqih.
Diberi gelar Basurroh karena beliau memiliki sebuah bungkusan (surrah) yang selalu dijaga dan dibawa kemana saja beliau pergi, sehingga semua orang mengira bungkusan itu berisi barang-barang berharga. Akan tetapi setelah beliau wafat bungkusan tersebut dibuka dan ternyata isinya kitab-kitab agama yang selalu dibaca selama hidupnya.
Waliyullah Abdurahman Ba-Surroh lahir di kota Tarim, dikarunia seorang anak lelaki bernama Muhammad.
Waliyullah Abdurahman Ba-Surroh wafat di Tarim tahun 888 H.

Aal ALSHULAIBIYAH

Mereka adalah salah satu keluarga dari Aal Alaydrus. Datuk mereka ialah waliyullah Husein bin Abdullah bin Syaich bin Abdullah al-Aydrus bin Abi Bakar al-Sakran bin Abdurahman Assaqaf.
Gelar yang disandang beliau berhubungan dengan jalur ibunya. al-Syarifah Aisyah binti Abi Bakar bin Abdullah Basyamilah adalah yang pertama digelari dengan al-Shulaibiyah. Selanjutnya gelar tersebut melekat kepada puterinya Alwiyah binti Abdullah bin Alwi Bajahdab dan kepada cucunya Fathimah isteri dari al-Habib Husin, maka gelar al-Shulaibiyah pun melekat kepada al-Habib Husin dan keturunannya. al-Shulaibiyah berasal dari kata al-Sholaba yang mempunyai arti teguh. al-Syarifah Aisyah diberi gelar tersebut karena mempunyai pendirian yang teguh terutama dalam menjalankan ajaran agama Islam.
Waliyullah Ahmad al-Shalabiyah lahir di kota Tarim, dikaruniai 7 orang anak lelaki yaitu: Abu Bakar dan Abdullah (keturunannya berada di India), Ali, Muhammad, Abdurahman, Husein dan Syaich (keturunannya sebagian besar berada di Indonesia).
Waliyullah Ahmad al-Shalabiyyah wafat di Tarim tahun 1028 H.

Aal AL-SHAFI AL-JUFRI

Mereka adalah keturunan waliyullah Syaichan bin Alwi bin Abdullah Attarisi bin Alwi al-Chowas bin Abu Bakar al-Djufri bin Muhammad bin Ali bin Muhammad bin Ahmad al-Syahid bin Muhammad al-Faqih al-Muqaddam.
Gelar al-Shofi karena pada diri beliau melekat sifat-sifat yang suci (Safail-Qalbu) dan juga ayahnya memberi nama sesuai dengan nama leluhurnya al-Shafi
Waliyullah Syaichan al-Shafi lahir di kota Makkah, dikaruniai 3 orang anak lelaki yaitu Maqbul, Umar, Abdullah. Dua diantaranya meneruskan keturunan beliau yaitu Umar dan Abdullah.
Waliyullah Syaichan As-Shafi wafat di kota Makkah tahun 1089 H.

Aal AL-SHAFI AL-SAQQAF

Mereka adalah keturunan waliyullah Umar al-Shafi bin Abdurahman al-Mualim bin Muhammad bin Ali bin Abdurahman al-Saqqaf.
Pemberian gelar al-Shofi karena beliau mempunyai kejernihan hati dan pikiran, kebersihan perasaan, kelembutan tabiat. Waliyullah Umar al-Shafi wafat di kota Tarim

Aal-THAHA

Mereka adalah keturunan Thaha bin Umar al-Shafi bin Abdurahman al-Mualim bin Muhammad bin Ali bin Abdurahman al-Saqqaf dan juga keturunan cucunya al-Habib Thaha bin Umar bin Thaha bin Umar al-Shafi.
Thaha adalah salah satu nama Rasulullah saw. Mereka menamakan dengan Thaha karena bertabarruk kepada Rasullah saw.

Aal AL-THAHIR

Mereka adalah keturunan waliyullah Thahir bin Muhammad bin Hasyim bin Abdurahman bin Abdullah bin Abdurahman bin Muhammad bin Abdurahman bin Ahmad bin Alwi bin Ahmad al-Faqih bin Abdurahman bin Alwi Ammu al-Faqih.
Waliyullah Thahir bin Muhammad lahir di kota Tarim, dikaruniai 5 orang anak lelaki dan hanya seorang saja yang meneruskan keturunannya bernama Husein.
Waliyullah Thahir bin Muhammad wafat di kota Tarim tahun 1163 Hijriyah.

Al-ADANI

Yang pertama kali digelari al-Adani ialah waliyullah al-Quthub Abu Bakar bin Abdullah al-Aydrus bin Abu Bakar al-Sakran.
Soal gelar yang disandang karena beliau meninggalkan tempat kelahirannya, kota Tarim berhijrah ke kota Aden di Yaman Selatan dan sampai akhirnya beliau bermukim di kota Aden tersebut karenanya beliau di juluki al-Adani. Waliyullah al-Quthub Abu Bakar bin Adullah al-Aydrus begitu pertama kali memasuki kota Aden, maka turun hujan susu di kota Aden tersebut.
Waliyullah Abu bakar al-Adani dilahirkan di kota Tarim dan dikarunia seorang anak bernama Ahmad. Ahmad dan kedua anaknya Aqil dan Muhammad tidak mempunyai keturunan.Waliyullah Abu bakar al-Adani wafat tahun 914 H di kota Aden.

Aal-AZHAMAT CHAN

Mereka adalah keturunan dari Abdul Malik bin Alwi Ammu al-Faqih. Di India mereka dikenal dengan gelar Azhamat yang dalam bahasa Urdu adalah suatu gelar yang menunjukkan atas kemuliaan dan kehormatan. Sedangkan Chan artinya keluarga. Jadi Azhamat Chan adalah keluarga yang mulia dan terhormat. Dari India, sebagian mereka berhijrah ke Siam, Kamboja dan Indonesia. Diantara mereka adalah para ulama yang dikenal dengan Wali Songo.

Aal-AQIL

Al-Aqil adalah gelar yang diberikan untuk anak cucu waliyullah:
1. Aqil bin Salim bin Abdullah bin Abdurahman bin Abdullah bin Abdurahman al-Saqqaf.
2. Aqil bin Muthohhar bin al-Hamid bin Syaikh Abu Bakar bin Salim.
3. Aqil bin Abdullah bin Umar bin Yahya.
Aqil bin Salim bin Abdullah dikarunia 5 orang anak lelaki: Salim, Syaichon , Muhammad , Zein (keturunannya al-Agil bin Salim di Lisik), Abdurahman yang dikenal dengan al-Atthas bin Aqil bin Salim

Aal-BA'AQIL

Mereka adalah keturunan waliyullah Aqil bin al-Imam Abdurrahman Assegaf bin Muhammad Maula Dawilah bin Ali bin Alwi bin Muhammad al-Faqih al-Muqaddam.
Waliyullah Aqil bin Abdurrahman Assegaf dilahirkan di kota Tarim. Dikarunia 1 orang anak lelaki yang bernama Abdurrahman. Abdurrahman bin Aqil dikarunia 3 orang anak lelaki:
1. Hasan
2. Muhammad al-Mualim Ba'aqil
Hasan dan Muhammad al-Hadi menurunkan keturunan 'al-Ba'aqil al-Seqqaf '
3. Umar, menurunkan keturunan al-Ba'aqil (Abdullah & Abdurahman).
Waliyullah 'Aqil bin Abdurrahman Assegaf wafat tahun 871 H di kota Tarim.

Aal-BA'ALAWI

Sebagaimana telah diketahui bahwa setiap orang yang bernasab kepada Alwi bin Ubaidillah bin Ahmad bin Isa bin Muhammad bin Ali al-Uraidhi bin Ja'far al-Shadiq sampai kepada akhir nasab yang mulia, maka disebut Ba'alawi.
Ada beberapa qabilah yang tidak bergelar dengan gelar tertentu, mareka itu dikenal dengan gelar Ba'alawi seperti Aal-Ba'alawi yang bernasab kepada Abu Bakar al-Wara'.

Aal-ALI LALA

Beliau adalah al-Habib Ali Lala bin Ahmad al-Mualim bin Hasan al-Thawil bin Muhammad bin Abdullah bin Ahmad bin Abdurahman bin Alwi Ammu al-Faqih. Gelar Lala dalam bahasa Urdu artinya hartawan. Jadi Ali Lala adalah Saudagar Ali.

Aal-ALATTHAS

Mereka adalah keturunan waliyullah Abdurrahman bin Aqil bin Salim bin Abdullah bin Abdurrahman bin Abdullah bin Abdurrahman Assegaf.
Menurut Habib Ali bin Hasan al-Attas (shohib al-Mashad) dalam kitabnya al-Qirthos Fi Manaqib al-Habib Umar bin Abdurahman al-Attas mengatakan bahwa pemberian gelar al-Attas dikarenakan keramatnya, yaitu bersin dalam perut ibunya seraya mengucapkan Alhamdulillah, yang mana perkataan tersebut didengar oleh ibunya. Menurut Habib Ali yang pertama kali bersin dalam perut ibunya yaitu Aqil bin Salim, saudara kandung Syaikh Abu Bakar bin Salim, selanjutnya gelar tersebut dipakai oleh anaknya yang bernama Abdurahman. Sedangkan anaknya yang bernama Muhammad dan Zein memakai gelar al-Aqil bin Salim. Syaikh Muhammad bin Ahmad Bamasymus al-Amudi berkata: 'Tidak ada al-Idrus kecuali Abdullah dan tidak ada al-Attas kecuali Umar'. Bersin bahasa Arabnya athasa dan orang yang bersin disebut al-Aththas. Waliyullah Abdurahman bin Aqil bin Salim dilahirkan di kota Lisik. Beliau dikarunia lima orang anak lelaki, tiga diantaranya melanjutkan keturunan beliau, yaitu;
1. Abdullah, keturunannya berada di Yafi' (Hadramaut )
2. Aqil, keturunannya al-Attas al-Aqil (Khuraidhoh)
3. Umar (Sohibur Ratib) keturunannya sebagian besar berada di Indonesia. Beliau dikarunia 9 orang anak lelaki, tetapi yang menruskan keturunan beliau hanya 4 orang, yaitu:
a. Husein, menurunkan keturunan al-Attas yang disebut al-Muchsin, al-Hamzah al-Ahmad, al-Thalib, al-Umar, al-Hasan, al-Ali, al-Abdullah.
b. Salim, keturunannya berada di Khuraidhoh, Jubail, India, Pekalongan, Penang dan Katiwar.
c. Abdullah, keturunannya berada di Amud, Inaq, Jadfaroh, Luhrum, Jawa dan di Bihan (Syihir).
d. Abdurrahman, keturunannya di Khuraidhoh, Luhrum, Jawa dan India.
Waliyullah Abdurrahman bin Aqil bin Salim wafat di kota Huraidhoh.

Aal AL-AYDRUS

Mereka adalah keturunan waliyullah Abdullah bin Abi Bakar al-Sakran bin Abdurrahman Assegaf. Sebab dinamakan al-Aydrus menurut pengarang kitab al-Masra' karena gelar tersebut merupakan gelar pemimpin para wali dan nama yang agung untuk seorang sufi. Dan ada pula yang mengatakan nama al-Aydrus berasal dari kata Utayrus yang dalam bahasa Indonesia berarti bersifat seperti Macan atau Singa. Tidak diragukan lagi bahwa Singa adalah raja hutan dan Aidrus adalah pemimpin para wali di zamannya. Di samping itu gelar tersebut adalah pemberian dari datuknya, karena pada masa kecilnya beliau selalu dipanggil oleh datuknya Waliyullah Abdurrahman Assegaf dengan julukan Utayrus.
Beliau dilahirkan di kota Tarim pada bulan Dzulhijjah tahun 811 H. Dikaruniai 5 orang anak lelaki: Abu Bakar, Muhammad, Alwi, Syech dan Husin. Dari kelima anak lelaki hanya 3 yang meneruskan keturunan beliau yaitu:
1. Alwi, yang menurunkan keturunan al-Aydrus: al-Ahmad al-Muhtaji. Keturunannya berada di Bor, di Syam, di Dhafar (Hadramaut) dan di Jawa.
2. Husein, menurunkan keturunan al-Aydrus: al-Umar bin Zain, al-Ismail, al-Hazem, al-Tsiby, al-Ma'igab (menurunkan: Ahmad Syarim, Hasan bin Abdullah, Abbas bin Abdullah, Waliyullah Habib Husein Bin Abu Bakar, luar batang)
3. Syaich, menurunkan keturunan al-Aydrus: al-Shalabiyah dan Ali Zainal Abidin.
Waliyullah Abdullah bin Abi Bakar Sakran wafat pada tanggal 12 Ramadhan 865 H di perjalanan antara Syihir dan Tarim (Hadramaut).

Aal-AIDID

Mereka adalah keturunan waliyullah Muhammad Maula Aidid bin Ali Shahib al-Huthah bin Muhammad bin Abdullah al-Faqih bin Ahmad bin Abdurrahman bin Alwi Ammu al-Faqih.
Gelar al-Aidid diberikan karena beliau bermukim di suatu dusun yang tidak berpenduduk disebut "Wadi Aidid” yaitu dusun yang terletak di daerah pegunungan sebelah Barat Daya kota Tarim dan mendirikan sebuah masjid untuk tempat beribadah dan beruzlah (mengasingkan diri) dari keramaian. Desa Aidid menjadi semerbak dan terang berderang dengan sinar keberkahan dari al-habib Muhammad.
Waliyullah Muhammad Maula Aidid dilahirkan di kota Tarim. Dikaruniai 4 orang anak lelaki: Alwi, Abdullah, Abdurahman dan Ali. Dari 4 orang anaknya hanya 3 orang yang meneruskan keturunannya. Yang bernama Abdullah dan Abdurrahman dijuluki dengan gelar Bafaqih yang kemudian menjadi leluhur al-Bafaqih. Sedangkan anaknya yang bernama Ali tetap dijuluki Aidid yang kemudian menurunkan keturunan al-Aidid.
Waliyullah Muhammad Maula Aidid wafat tahun 862 H di kota Tarim.

Aal-BA'UMAR

Mereka adalah keturunan Ali bin Umar bin Salim bin Muhammad bin Umar bin Ali bin Umar bin Ahmad bin Muhammad al-Faqih al-Muqaddam.
Yang terkenal dengan Ba'Umar adalah datuk dari Ali bin Umar seorang wali yang mempunyai derajat tinggi di sisi Allah swt.

Aal-AUHAJ

Mereka adalah keturunan waliyullah Alwi Auhaj bin Ali bin Abu Bakar al-Facher bin Abdullah bin Ahmad bin Abdurrahman bin Alwi Ammul Faqih.
Beliau digelari dengan Auhaj karena bermukim di dusun yang disebut Auhaj Yaman. Waliyullah Alwi al-Auhaj dilahirkan di kota Tarim. Dikaruniai 3 orang anak yaitu Ahmad , Ali dan Abdullah. Waliyullah Alwi al-Auhaj wafat pada tahun 887 H di Tarim (Hadramaut).

Aal-BA'BUD

Perkataan Abud adalah sifat untuk orang yang banyak melakukan ibadah dan kadang dipakai sebagai gelar untuk orang yang bernama Abdullah seperti datuk al-Ba'abud dan salah seorang dari mereka yaitu Waliyullah Abdullah (Abud) bin Muhammad Maghfun bin Abdurahman Babathinah bin Ahmad bin Alwi bin Ahmad bin Abdurahman bin Alwi Ammu al-Faqih.
1. Al-Ba'abud Maghfun, yang pertama kali menyandang gelar Ba'abud adalah anak dari Waliyullah Abdullah bin Muhammad Maghfun yaitu: Muhammad Ba'abud Maghfun. Beliau digelari dengan 'Maghfun' karena suka beruzlah dengan maksud mendekatkan diri kepada Allah swt. Waliyullah Muhammad Maghfun dilahirkan di kota Tarim, keturunan beliau berada di Bor Hadramaut, Madinah al-Munawwaroh, Mesir dan Indonesia. Waliyullah Muhammad Abud wafat di kota Tarim pada tahun 975 H.
2. Al-Ba'bud Dubjan, mereka adalah keturunan Muhammad al-Faqih al-Muqaddam, disandang oleh Waliyullah Abdullah Abud bin Ali Dubjan bin Ahmad bin Muhammad bin Abdullah Ba'alawi. Tentang sebutan Dubjan diartikan dengan dua pengertian yaitu: pertama, Dubjan diartikan sebuah dusun di Hadramaut, dimana ayah dari Waliyullah Abdullah Abud yaitu Ali bin Ahmad bermukim di dusun Dubjan tersebut. Kedua, Dubjan diartikan dengan keindahan atau keperkasaan. Mungkin keluarga Waliyullah Abdullah bin Ali tersebut adalah orang-orang yang gagah perkasa dan pemberani. Waliyullah Abdullah Abud dilahirkan di kota Gasam dan wafat pada tahun 816 H. Keturunan beliau berada di Ghaiydhah, di Difar, di India dan di Indonesia.
3. Al-Ba'bud Charbasyan, keturunan Muhammad al-Faqih al-Muqaddam yang menyandang gelar ini adalah Waliyullah Abdullah Abud bin Ali bin Muhammad Maula Dawilah bin Ali bin Alwi bin al-Faqih. Tentang sebutan Charbasyan diartikan sebuah dusun disekitar kota Makkah al-Mukarromah, dimana leluhur Waliyullah Ahmad bin Abi Bakar bermukim di dusun tersebut. Beliau dilahirkan di kota Makkah al-Mukarromah dan wafat di kota Tarim pada tahun 947 H. keturunannya berada di Churuf al-Zaidan, di kota Tarim, di Oman dan di Indonesia.

AL-GHAZALI

Mereka adalah qabilah dari keluarga al-Baiti tang berbangsa kepada Abu Bakar bin Ibrahim bin Abdurahman al-Saqqaf. Dan yang pertama kali diberi gelar al-Ghazali ialah Ahmad bin Muhammad al-Masyhur bin Abdullah bin Salim bin Abdullah. Ayah beliau memberi gelar dengan gelar ini karena berharap agar puteranya menjadi seperti Imam al-Ghazali walaupun hanya untuk sebagian ilmu dan amalnya.

Aal AL-GHUSNU

Mereka adalah keturunan Abu Bakar al-Ghusnu bin Hasan bin Ali bin Muhammad Jamallullail bin Hasan bin Muhammad Asadullah bin Hasan bin Ali bin Muhammad al-Faqih al-Muqaddam. Gelar al-Ghusnu diberikan karena beliau seorang yang lembut dan rendah hati terhadap masyarakat sekitarnya dan selalu berbaik hati kepada keluarganya.

Aal AL-GHAMRI

Mereka adalah qabilah dari keluarga Ba'abud al-Charbasyan. Dan yang pertama kali digelari dengan al-Ghamri ialah Muhammad bin Ahmad bin Alwi bin Muhammad bin Ahmad bin Abi Bakar bin Abdurahman bin Abdullah bin Abud bin Ali bin Muhammad Maula Dawilah bin Ali bin Alwi bin Muhammad al-Faqih al-Muqaddam.
Pemberian gelar al-Ghamri karena saat beliau hijrah dari Hadramaut ke Madinah al-Munawaroh terlihat keramatnya yang sempurna. Orang Arab menyebutnya al-Ghumri yang berarti air yang banyak, dan orang menggelarinya dengan al-Ghamri karena beliau seorang yang dermawan dan lapang dada.

Aal-BALGHAITS

Mereka adalah keturunan waliyullah Umar bin Abdurahman Shahib al-Hamra'. Gelar yang disandang karena datuk beliau memberinya nama dengan al-Ghaits, sebagai tabaruk kepada seorang waliyullah yang terkenal Abul-Ghaits bin Jamil.
Keturunan berada di Timur Tengah dan Indonesia (sebagian besar ada di Kalimantan). Waliyullah Umar bin Ahmad al-Balghaits wafat di Lahij.

Aal AL-GHAIDHI

Beliau adalah Abu Bakar bin Abdullah bin Ahmad bin Abu Bakar al-Wara' bin Ahmad bin Muhammad al-Faqih al-Muqaddam. Beliau digelari dengan al-Ghaidhi karena bertempat tinggal di suatu daerah al-Ghaidhoh di pantai Timur Hadramaut yang banyak ditumbuhi pepohonan.

Aal-FAD'AQ

Fad'aq adalah sejenis Harimau. Leluhur Alawiyin yang mendapat gelar ini karena mempunyai sifat kuat dan berani seperti Harimau saat berda'wah. Fad'aq mempunyai tiga keluarga yaitu;
1. Keturunan waliyullah Umar Fad'aq bin Abdullah Wathab bin Muhammad al-Munaffir. Beliau dilahirkan di jami Gasam hadramaut dan diberi 6 orang anak lelaki, 3 orang diantaranya menurunkan keturunannya
a. Ali, menurunkan al-Fad'aq Abunumai, keturunanya hanya ada di Magad dan di Dhifar Hadramaut.
b. Alwi, keturunannya hanya ada di India.
c. Ibrahim, keturunanya hanya berada di Gasam, di Dhifar di Magad dan Yaman Utara.
Waliyullah Umar Fad'aq bin Abdullah Wathab wafat di Jami' Gasam pada tahun 910 Hijriyah.
2. Keturunan waliyullah Fad'aq bin Muhammad bin Abdullah bin Mubarak bin Abdullah Wathab bin Muhammad al-Munaffir. Beliau dilahirkan di Baydlo' dan dikaruniai 5 anak, yang meneruskan keturunan beliau hanya 3 anak yaitu: Hasan, Aqil dan Abdullah yang keturunannya banyak di Indonesia. Beliau wafat di kota Baydlo' tahun 1000 H.
3. Keturunan waliyullah Ahmad bin Muhammad bin Alwi bin Muhammad Maula Dawilah yang dikenal dengan sebutan Baiti Fad'aq.

Aal-BAFAQIH

Al-Bafaqih disandang oleh dua orang yaitu: Abdurrahman bin Muhammad Maula Aydid dan Abdullah bin Muhammad Maula Aydid. Gelar Bafaqih berarti Ibnu Faqih. Beliau alim dalam ilmu fiqih sebagaimana kakeknya yang alim dan menguasai ilmu fiqih.
Waliyullah Abdurrahman Bafaqih dilahirkan di kota Tarim dan dikaruniai 5 orang anak, 3 diantaranya meneruskan keturunannya yaitu: Ahmad, Zain dan Atthayib. Waliyullah Abdurrahman Bafaqih wafat pada tahun 884 H.
Waliyullah Abdullah Bafaqih dilahirkan di kota Tarim, dikaruniai 3 orang anak, 2 diantaranya meneruskan keturunannya yaitu: Husein dan Ahmad. Beliau wafat beberapa tahun sesudah saudaranya Abdurrahman Bafaqih wafat.

Aal-BILFAQIH

Bilfaqih ialah gelar yang dinisbahkan kepada waliyullah Abdurrahman bin Muhammad bin Abdurrahman al-Asqo' bin Abdullah bin Ahmad bin Ali bin Muhammad bin Ahmad bin Muhammad al-Faqih Muqaddam.. Gelar Bilfaqih didapat karena beliau dikenal sebagai seorang ahli fiqih dan mengikuti jejak ayahnya.
Waliyullah Abdurrahman bin Muhammad Bilfaqih dilahirkan di kota Tarim, dikaruniai enam orang anak laki yaitu: Ali, Alwi, Muhammad, Abubakar, Husin, Ahmad. Dari enam orang anak laki yang melanjutkan keturunan beliau hanya dua orang anak: Husein dan Ahmad.
Waliyullah Abdurrahman bin Muhammad Bilfaqih wafat di kota Tarim tahun 966

AL-FAQIH AL-MUQADDAM

Yang pertama kali di juluki al-Faqih al-Muqaddam ialah waliyullah al-Ustadz al-A'zhom Muhammad bin Ali bin Muhammad Shahib Marbath.
Gelar yang disandang karena beliau seorang faqih yang menguasai ilmu fiqih dan karena beliau pula negeri Hadramaut menjadi negeri yang aman. Di samping itu, waliyullah Muhammad bin Ali al-Faqih al-Muqaddam seorang yang berjalan pada thariqah kefaqiran. Julukan al-Muqaddam yang diberikan kepadanya, karena beliau seorang yang terkemuka/panutan. Makam beliau adalah tempat pertama dikunjungi oleh para penziarah di perkuburan Zanbal Tarim.

Aal-BAFARAJ

Aal-Bafaraj ialah gelar yang dinisbahkan kepada keturunan waliyullah Faraj bin Ahmad al-Masrafah bin Muhammad bin Abdullah bin Ahmad bin Abdurrahman bin Alwi Ammu al-Faqih.
Gelar didapat karena ayah beliau menamakan Faraj ( berarti senang atau berkah ) dengan tujuan agar anaknya menjadi orang yang saleh penuh dengan kesenangan dan keberkahan dari Allah swt.
Waliyullah Faraj bin Ahmad dilahirkan di kota Tarim, dikaruniai 4 orang anak lelaki bernama: Abu bakar, Umar Abdullah dan Alwi. Waliyullah Faraj bin Ahmad wafat di kota Tarim tahun 876 H.

Aal-ABU FUTHAIM

Mereka adalah keturunan waliyullah Muhammad bin Abu bakar bin Ahmad bin Ali bin Hasan bin Syaich Abi Bakar bin Salim.
Gelar disandang karena beliau mempunyai anak perempuan yang bernama Fatimah yang berasal dari kata Fatama , maka orang-orang menjuluki Abu-Futhaim.
Waliyullah Muhammad Abu Futhaim dilahirkan di kota Tarim, dikaruniai 5 orang anak, 4 diantaranya meneruskan keturunannya yaitu: Abdurrahman, Husein, Umar dan Alwi. Waliyullah Muhammad Abu Futhaim wafat di kota San'a Yaman Utara.

AL-FARDY

Yang pertama kali di juluki al-Fardy ialah waliyullah Abdullah bin Alwi bin Ali bin Abi Bakar al-Facher bin Abdullah bin Ahmad bin Abdurahman bin Alwi Ammu al-Faqih. Gelar yang disandang karena beliau terkenal sebagai ahli ilmu Faraid di zamannya sebagaimana disebutkan dalam kitab al-Masyra'.

Aal AL-QADRI

Yang pertama dijuluki al-Qadri ialah waliyullah Aqil bin Abdullah bin Muhammad bin Salim bin Ahmad bin Abdurrahman bin Ali bin Muhammad Jamallullail
Al-Qadri adalah suatu kata yang berasal dari kalimat qadarullah yaitu takdir Allah swt. Adapun sebab diberi gelar al-Qadri karena beliau selalu menyandarkan segala sesuatu hanya kepada Allah swt yang terlihat dari perkataan dan perbuatannya.
Pendiri kota Pontianak Abdurahman bin Husein al-Qadri adalah keturunan dari Salim bin Abdullah saudara Aqil bin Abdullah. Waliyullah Aqil bin Abdullah al-Qadri wafat di Tarim.

Aal-QUTHBAN

Mereka bersambung nasabnya kepada waliyullah Quthban bin Aqil bin Ahmad bin Abu Bakar al-Sakran bin Abdurahman Assaggaf. Dinamakan Quthban karena beliau adalah seorang yang gagah berani dalam mengalahkan musuh-musuhnya.

Aal-QORI'

Yang pertama kali dijuluki al-Qari ialah waliyullah Abdurahman bin Ibrahim bin Abdullah bin Abdurahman Assaqqaf. Gelar yang disandangkan, karena beliau adalah seorang qari yang terkenal.

Aal AL-KAF

Mereka adalah keturunan waliyullah Ahmad bin Muhammad bin Ahmad bin Abu Bakar al-Djufri. Gelar yang disandang mempunyai dua versi:
1. Waliyullah Ahmad bin Muhammad al-Kaf dapat mengalahkan seseorang yang mengaku dirinya jagoan yang mempunyai kekuatan luar biasa. Kekuatan yang luar biasa itu dalam bahasa Hadramaut disebut " Kaf ".
2. Dalam suatu perkara di pengadilan, hakim meminta Waliyullah Ahmad bin Muhammad al-Kaf menuliskan suatu kode. Kode yang ditulis itu adalah huruf Kaf maka sejak itu masyarakat memanggilnya dengan gelar al-Kaf
Waliyullah Ahmad bin Muhammad al-Kaf dilahirkan di kota Tarim, dikaruniai 2 orang anak lelaki bernama Abu Bakar dan Muhammad. Waliyullah Ahmad bin Muhammad al-Kaf wafat di Tarim tahun 911 Hijriyah.

AL-MUHDHAR

Beliau ialah Umar bin Abdurahman al-Saqqaf bin Muhammad Maula al-Dawilah bin Ali bin Alwi bin Muhammad al-Faqih al-Muqaddam. Waliyullah Umar al-Muhdhar bin Abdurahman al-saqqaf tidak mempunyai anak laki-laki, hanya mempunayi empat orang anak perempuan.
Waliyullah Umar al-Muhdhar bin Abdurahman al-saqqaf wafat di Tarim pada tahun 833 Hijriyah, ketika sujud pada shalat dzuhur.

Aal AL-MUHDHAR

Mereka adalah keturunan waliyullah Umar bin Syaich Abi Bakar bin Salim. Gelar yang disandangnya karena ayahnya menjulukinya Muhdhar agar ia mendapat berkah leluhurnya yaitu Waliyullah Umar Muhdhar bin Abdurrahman Assegaf.
Waliyullah Umar al-Muhdhar lahir di kota Inat, dikaruniai 2 orang anak lelaki bernama Ali dan Abu Bakar, mereka menurunkan keturunanan al-Muhdhar. Keturunan al-Muhdhar lainnya adalah al-Mahadir. Waliyullah Umar al-Muhdhar wafat di Inat pada tahun 997 H.

Aal AL-MAHJUB

Yang dijuluki al-Mahjub ialah:
1. Waliyullah Abdullah bin Abdurahman bin Hasan bin Syaich bin Hasan bin Syaich bin Ali bin Syaich bin Ali bin Muhammad Maula Dawilah. Waliyullah Abdullah al-Mahjub lahir di Makho” Hadramaut, dikaruniai 3 orang anak lelaki. Dari anaknya yang bernama Ahmad menurunkan keturunan al-Mahjub yang berada di Hadramaut.
2. Waliyullah Ali al-Sholeh al-Mahjub bin Abu Bakar bin Sholeh bin Abdullah bin Ibrahim bin Muhammad bin Syaich bin Abdullah bin al-Imam Abdurahman Assegaf. Beliau lahir di kota Tarim, dikaruniai seorang anak laki bernama Abdullah yang menurunkan al-Mahjub di Indonesia (sebagian besar ada di Banjarmasin). Beliau wafat di tarim pada tahun 1151 H.
Gelar yang disandang karena beliau selalu beruzlah, mendekatkan diri kepada Allah untuk memohon petunjuk mengatasi kerusakan zaman.

Aal-MAKNUN

Yang pertama kali dijuluki al-Maknun ialah waliyullah Ahmad maknun bin Umar bin Ahmad Shahib Maryamah bin Alwi bin Abdurahman Assaqqaf. Gelar yang disandang, karena beliau tinggal di Maknun nama sebuah tempat yang dikenal di Hadramaut.

Aal AL-MASYHUR

Mereka adalah keturunan waliyullah Muhammad al-Masyhur al-Majdzub bin Ahmad bin Muhammad bin Syahabuddin al-Ashghor bin Abdurahman al-Qadhi bin Ahmad Syahabuddin al-Akbar bin Abdurahman bin Syaich Ali bin Abu Bakar al-Sakran.
al-Habib Muhammad menyandang dua gelar yaitu al-Masyhur dan al-Majdzub. Gelar yang disandang karena beliau seorang wali yang terkenal ke penjuru negeri, dimana kewalian tersebut diperoleh dari Allah swt dengan Jadzab (kewaliannya tanpa didahului oleh amalan).
Waliyullah Muhammad bin Ahmad al-Masyhur lahir di kota Tarim, dikarunia 3 orang anak lelaki:
1. Abdurahman, keturunannya berada di Malibar.
2. Alwi, leluhur al-Masyhur yang keturunannya ada di Ahwar, Tarim dan di Indonesia ( kota Surabaya )
3. Abdullah, dikaruniai 4 orang anak lelaki, 2 diantaranya mempunyai keturunan, masing-masing:
a. Umar, leluhur al-Masyhur yang ada di Tarim. Salah satu anak cucunya ialah al-Allamah al-Habib Abdurahman bin Muhammad bin Husein al-Masyhur pengarang kitab Syamsu al-Dzahirah kitab tentang nasab Alawiyin yang menjadi pedoman Ar-Rabitah al-Alawiyah di Indonesia. Umar bin Abdullah bin Muhammad al-Masyhur keturunannya berada di Hadramaut, Malaysia dan Indonesia.
b. Ahmad, mempunyai seorang anak bernama Muhammad al-Zahir.
Waliyullah Muhammad bin Ahmad al-Masyhur wafat di Tarim tahun 1130 H.

Aal AL-MARZAQ

Mereka adalah keturunan waliyullah Syaich bin Ahmad bin Abdullah Wathab bin Muhammad al-Munaffir. Waliyullah Syaich bin Ahmad al-Marzaq dilahirkan di Syibam, beliau ialah leluhur:
1. Al-Marzaq, dari keturunannya yang bernama Syaich (Syaich bin Alwi bin Abdullah bin Alwi bin Syaich Marzaq)
2. Al-Masyhur al-Marzaq, dari keturunannya yang bernama Muhammad (Muhammad bin Alwi bin Marzaq bin Alwi bin Abdullah bin Alwi bin Syaich Marzaq)
Waliyullah Syaich bin Ahmad al-Marzaq wafat di Kota Syibam tahun 940 H.

Aal AL-MAQADDY

Yang pertama kali dijuluki al-Maqaddy ialah waliyullah Umar bin Abdurahman bin Ahmad Syuroim bin Abdurahman bin Muhammad bin Abdullah bin Alwi bin Ahmad bin Muhammad al-Faqih al-Muqaddam. Gelar yang disandang, karena beliau tinggal di suatu tempat terkenal yang terletak dekat kota al-Hami al-Sahiliyah di Hadramaut.

Aal-MUQAIBIL

Mereka adalah keturunan waliyullah Ahmad bin Alwi bin Abdullah bin Alwi bin Muhammad Maula Dawilah. Gelar al-Muqaibil adalah suatu gelar yang terpuji, karena meliputi sifat tawadhu'. Gelar ini diberikan karena apabila beliau menerima penghormatan dari seseorang, selalu membalasnya dengan senang hati dan menghadapkan wajahnya.
Waliyullah Ahmad al-Muqaibil lahir di Tarim , dikaruniai 5 orang anak, 2 diantaranya yang menurunkan keturunannya yaitu Zain dan Abdurahman.

Aal-MUSYAYYACH

Mereka adalah keturunan waliyullah Musyaiyyah bin Abdullah bin al-Syaich Ali bin Abi Bakar As-sakran.
Waliyullah al-Musyayyach lahir di kota Tarim , dikaruniai 2 orang anak lelaki bernama Abdullah yang keturunannya berada di India dan Abdurahman yang keturunannya berada di Indonesia. Waliyullah al-Musyayyach wafat di Tarim pada tahun 915 H.

Aal AL-MUSAWA

Pemberian gelar al-Musawa merupaka tabarukkan kepada seorang guru besar yang tinggal di Yaman bernama al-Musawa. Dan yang dijuluki al-Musawa ialah:
1. Waliyullah Ahmad bin Muhammad bin Ahmad bin Abu Bakar al-Sakran. Beliau lahir di Tarim dikaruniai 3 orang anak lelaki, dua diantaranya Yasin dan Husein yang keturunannya sebagian besar di Indonesia. Beliau wafat di Tarim tahun 992 Hijriyah.
2. Waliyullah Ahmad al-Musawa Bahsin bin Abdurahman bin Abdullah bin Abdurahman bin Husein bin Syaich Abdurahman Assegaf. Beliau dilahirkan di Tarim, dikaruniai 4 orang anak lelaki, dua diantaranya:
a. Husein, keturunannya berada di Lahij Yaman.
b. Abdullah, keturunannya di Indonesia ( kota Semarang ).
Beliau wafat di Tarim tahun 965 Hijriah.

Aal-ALMUNAWWAR

Mereka adalah keturunan waliyullah Aqil bin Alwi bin Abdurahman bin Ali bin Aqil bin Abdullah bin Abu Bakar bin Alwi bin Ahmad bin Abu Bakar al-Sakran.
Digelar dengan al-Munawwar karena beliau seorang baik dan tekun dalam beribadah kepada Allah swt sehingga cahaya Allah swt tampak pada wajahnya yang berseri-seri , dan orang yang diberi karunia cahaya/nur disebut al-Munawwar.
Waliyullah Aqil bin Alwi al-Munawwar dilahirkan di kota Seiwun, dikaruniai 3 orang anak lelaki , dua diantaranya bernama Abdurahman dan Abdullah yang keturunannya sebagian besar di Indonesia.
Waliyullah Aqil bin Alwi al-Munawwar wafat di Seiwun tahun 1170 H.

Aal-MUDAIHIJ

Mereka adalah keturunan ialah waliyullah Abdullah bin Aqil bin Syaich bin Ali bin Abdullah Wathab bin Muhammad al-Munaffir. Gelar yang disandang karena beliau biasa membiasakan diri untuk shalat berjama'ah di masjid Madihij.
Waliyullah Abdullah bin Aqil al-Madihij dilahirkan di kota Tarim, dikarunia 4 orang lelaki, hanya seorang yang meneruskan keturunan beliau yaitu Aqil bin Abdullah bin Aqil. Waliyullah Abdullah bin Aqil wafat di tarim tahun 970 H.

Aal-MUTHAHHAR

Mereka adalah keturunan waliyullah Muthahhar bin Abdullah bin Alwi bin Mubarak bin Abdullah bin Ahmad bin Muhammad bin Abdullah Wathab bin Muhammad al-Manfar.
Waliyullah al-Muthahhar lahir di Gasam, dikaruniai 2 orang anak lelaki , satu diantaranya bernama Abdullah. Waliyullah al-Muthahhar wafat di Gasam tahun 1117 Hijriyah.

AL-NAHWI

Yang pertama kali dijuluki al-Nahwi ialah waliyullah Abdullah bin Abdurahman bin Harun bin Hasan bin Ali bin Muhammad Jamalullail. Gelar yang disandang menurut shohib al-Masra', dikarenakan beliau adalah seorang yang sangat mahir dalam ilmu nahwu, sehingga beliau dinamakan al-Nahwi.

Aal AL-NADHIR

Yang pertama kali dijuluki al-Nadhir ialah waliyullah Muhammad bin Abdullah bin Umar Ahmar al-Uyun bin Abdurahman bin Alwi Ammul Faqih. Gelar yang disandang, karena beliau seorang yang gagah perkasa dan bagus, yang dalam bahasa Arab hal tersebut disebut Nadhir.

Aal-ABU NUMAY

Mereka adalah keturunan waliyullah Abu Numay bin Abdullah bin Syaich bin Ali bin Abdullah Wathab bin Muhammad al-Manfar. Waliyullah Abu Numay lahirkan di Masyghah, dikaruniai 3 orang anak lelaki bernama Abdullah, Aqil dan Muhammad. Beliau wafat di Masyghah tahun 1020 H.

Aal-ALHADDAR

Mereka adalah keturunan waliyullah Abdullah bin Ali bin Muhsein bin Husein bin Syaich Abu Bakar bin Salim. Gelar yang disandang karena beliau berda'wah dengan suara yang keras sekali bagai suara guntur. Suara macam itu disebut Haddar.
Beliau dilahirkan di Inat Hadramaut, dikarunia 2 orang anak lelaki yaitu: Hafidz dan Umar. Keturunan beliau hanya ada di Pulau Jawa. Beliau wafat di kota Inat tahun 1148 Hijriyah.
Saudara Abdullah bin Ali adalah waliyullah Hadi bin Ali al-Haddar yang dikaruniai seorang anak laki bernama Salim yang keturunannya berada di Ternate. Beliau wafat di kota Inat tahun 1149 H.

Aal-ALHADI

Mereka adalah keturunan waliyullah Muhammad bin Abdurahman al-Qadi bin Ahmad Syahabuddin al-Akbar bin Abdurahman bin Syaich Ali Bin Abi Bakar al-Sakran.
Gelar yang disandang karena harapan ayah beliau bertabaruk kepada Rasul al-Hidayah, dengan harapan agar anaknya mendapat hidayah, hal tersebut terbukti dengan kewalian Muhammad bin Abdurahman al-Hadi.
Waliyullah Muhammad al-Hadi dilahirkan di kota Tarim, dikaruniai 2 orang anak, seorang diantaranya bernama Seggaf yang menurunkan keturunan al-Hadi di Indonesia. Beliau wafat di kota Tarim tahun 1040 H.

Aal-ALHINDUAN

Mereka adalah keturunan waliyullah Umar bin Ahmad bin Hasan bin Ali bin Muhammad Maula Dawilah. Gelar yang disandang karena badan dan iman beliau sangat kuat bagaikan pedang yang tajam terbuat dari besi baja berasal dari India. Pedang itu disebut Hinduan.
Waliyullah Umar al-Hinduan lahir di Tarim, dikarunia seorang anak laki yang bernama Abdullah. Waliyullah Umar al-Hinduan wafat di Tarim tahun 917 H.

Aal-BAHARUN

Yang pertama kali dijuluki al-Baharun ialah waliyullah Ali bin Harun bin Hasan bin Ali bin Muhammad Jamalullail bin Hasan al-Mualim bin Muhammad Asadilah bin Hasan Atturabi.
Gelar yang disandang karena ayah beliau memberi nama Harun dengan harapan anaknya itu mempunyai sifat seperti Nabiyullah Harun, terbukti Harun bin Hasan menjadi waliyullah yang besar.
Waliyullah Harun bin Hasan lahir di Tarim, dikaruniai 4 orang anak lelaki: Ali, Ahmad, Abdurahman dan Abdullah al-Shaleh. Waliyullah Harun bin Hasan wafat di Tarim tahun 905 Hijriyah.

Aal BAHASYIM

Mereka adalah anak cucu dari al-Habib Hasyim bin Abdullah bin Ahmad bin Alwi bin Ahmad bin Abdurahman bin Alwi Ammu al-Faqih. Ba Hasyim adalah gelar yang diambil dari nama datuk mereka Hasyim bin Abdullah bin Ahmad. Setiap orang dari keturunannya disebut Ba Hasyim.

Aal-BIN YAHYA

Mereka adalah keturunan waliyullah Yahya bin Hasan bin Ali al-Annaz bin Alwi bin Muhammad Maula Dawilah. Gelar yang disandang karena dengan menamakan anaknya Yahya, ayahnya berharap agar anaknya tersebur mendapat keberkahan seperti nabi Yahya yang dapat menerangi hati yang gersang.

Waliyullah Yahya bin Hasan lahir di Tarim, dikarunia 3 orang anak lelaki, dua diantaranya meneruskan keturunan beliau yaitu Hasan dan Ahmad. Waliyullah Yahya bin Hasan bin Yahya wafat di kota Tarim tahun 956 H.